Rabu, 01 Januari 2014

MENELUSURI MATA RANTAI YANG HILANG MENGENAI STIGMA dan DAMPAK NEGATIF VIDEO GAME TERHADAP ANAK

Oleh:
Johan Nurul Imani S.Sos
I.                   PENDAHULUAN
Ada persoalan memuncak ditengah keluarga Indonesia, tingkah laku anak-anak kita yang makin bermasalah menjadi pusat perhatian orangtuanya. Diduga, video game adalah penyebabnya. Orangtua mengeluhkan kemunduran prestasi dikelas, tidak produktifnya anak, tingkah laku yang berubah, agresivitas, bahasa yang kasar, sikap melawan orang tua, uang jajan boros, sampai bentuk adanya laporan kasus kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera hingga hilangnya nyawa. Ada apa sebenarnya?
Keterkaitan antara video game dengan perkembangan anak  yang buruk sebenarnya sudah banyak dibahas. Namun, apa setelahnya persoalan dan stigmanya yang negatif tentang video game menjadi suatu kesimpulan akhir dan di-amin-i oleh semua pihak termasuk kita? Bahwa, kesimpulan objektif dari hasil penelitian dan opini subjektif sekalipun membawa kita pada konklusi akhir jika video game itu buruk? Jika ingin memahami pendapat lain, setidaknya ikuti narasi alternatif ini hingga akhir.
Video game merupakan salah satu industri besar skala global yang sudah berjalan puluhan tahun. Industri tersebut sudah memiliki jaringan global dan produk yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Sejak kelahirannya, sulit untuk menjawab keluarga mana dibelahan bumi ini yang tidak memiliki produk industri tersebut. Setiap keluarga bisa dipastikan pernah membeli dan memainkannya. Video game disukai semua orang.
Namun bisa dikatakan semuanya berubah ketika kasus pertama dampak negatif dari video game mulai muncul ke permukaan dan menjadi perhatian semua pihak. Persoalan ini menjadi makin hangat di lingkungan keluarga justru karena yang menjadi korban dampak negatif dari video game adalah anak-anak. Orang tua menjadi semakin khawatir karena merasa anak-anak mereka dalam bahaya. Sejak itu orangtua mulai menyimpan dan melarang video game untuk dikonsumsi anak-anak mereka. Tapi persoalan ini tidak berhenti, kasus demi kasus masih muncul secara sporadis. Disaat  bersamaan, stigma bahwa video game memberi dampak negatif terkonstruksi ditengah lingkungan keluarga. Kini, telah ada garis lurus dan baku mengenai pemahaman bahwa video game akan memberi dampak negatif.
Sebenarnya, tidak begitu juga. Sesungguhnya, ada beberapa mata rantai yang hilang ditengah fenomena video game kaitannya dengan dampak negatif video game ditengah masyarakat kita. Industri game adalah sebuah dunia luas yang tidak berdiri sendiri dan bebas bekeliaran seperti layaknya bola liar kesana kemari. Industri game sudah sekian puluh tahun berdiri. Jepang dan Eropa adalah awal dan masih menjadi jantung bagi industri sekaligus segmen pasar utama dari industri modern tersebut. Persoalan dampak negatif video game ditengah lingkungan ini harus dicermati dan diurai dari hulu sampai hilir.

II.                INDUSTRI VIDEO GAME DAN BADAN RATING : Fungsional Kontrol Sosial
Industri ini beserta semua pihak yang ada didalamnya adalah hulu, dan keluarga ada hilir dari masalah ini. Ditengah-tengahnya adalah blind spot yang akan dijelaskan. Industri game didampingi oleh berbagai pihak dalam menangani persoalan ini, dan itu dikenal dengan istilah ESRB. Entertainment software rating board adalah badan rating internasional mandiri yang memiliki fungsi rating dan kategori bagi jenis-jenis video game yang diproduksi ingustri game dunia. Kategori ini berdasarkan konten atau isi dari video game tersebut.
ESRB dikenal sebagai badan regulator yang memberikan penilaian pada video game, panduan beriklan, dan beberapa prinsip privasi dalam game online. ESRB ini sudah terbentuk pada tahun 1994 oleh ESA, atau dikenal sebagai Entertainment Software Association. Saat ini ESRB bermarkas di Kanada dan AS. ESRB sendiri sampai pada Juli 2012 lalu sudah memberi rating lebih dari 22.000 judul game dari 350 publisher di seluruh dunia.
ESRB mencoba membuat batasan, dan membangun kesadaran bagi siapapun pengguna produk video game agar play-safely. Bagaimanapun juga kita semua adalah konsumen yang perlu dilindungi. Kenapa dilindungi? banyak kasus dan fakta dilapangan kalau ternyata game-game saat ini penuh dengan konten yang perlu kita filter atau saring. Konten-konten yang dimaksud adalah adegan-adegan dewasa yang tidak semua lapisan umur pemain bisa menerima dan mengerti. Terutama bagi anak kecil.  Mereka adalah generasi yang masih rentan dengan lingkungan baru dan bisa dengan mudah meng-imitasi apapun yang dilihat di sekitarnya. ESRB, hadir di tengah lingkaran Industri video game untuk menciptakan keseimbangan dan melindungi konsumen/pemain dengan sistem rating mereka. ESRB akan memberi penilaian sesuai dengan konten dari game tersebut. Semakin soft kontennya, makin ringan ratingnya, dan  semua orang dari segala umur bisa main game tersebut. Tapi, jika sebaliknya, maka tidak semua lapisan umur bisa main.
ESRB juga menjalankan peran memberi “stempel” kategorisasi berdasarkan konten dan umur untuk sebuah game, tapi bukan sebuah badan yang memiliki wewenang melarang peredaran sebuah game untuk dipasarkan. ESRB bekerja dengan memberi kategorisasi sesuai mekanisme internal mereka yang melibatkan para ahli dibidang pendidikan anak, akademisi, juga representatif dari kelompok orang tua. Proses ini berakhir pada hasil dimana sebuah game mendapat ratingnya. berikut contohnya:

Umumnya ada enam kategori dari ESRB, 1. Ec (Early Childhood) 2.E(Everyone) 3.E+ (Everyone 10 and older)            4.T (Teen)       5.M (Mature) 6.Ao (Adults Only).
Apa yang jadi tolak ukur sebuah game agar  bisa mendapat ratingnya?. Ada dua ukuran yang digunakan dalam memberi rating sebuah game. Tingkat kekerasan (violence), dan tingginya tingkat seksualitas dalam game tersebut. Selain itu ada juga penggunaan bahasa yang kasar, humor yang kasar, simulasi praktik  judi, eksploitasi darah dan sadisme, konten alkohol, obat-obatan, rokok, hingga budaya nudis (telanjang). Semakin rendah/sedikit konten sebuah game maka rating game tersebut bisa jatuh di peringkat E+,E (everyone/semua orang). Rating yang memberi informasi bahwa game tersebut layak dan diperuntukan bagi semua umur. Jika sebaliknya, khusus dewasa dan masuk ke dalam rating M (mature/dewasa) atau Ao (Adult only).
            Negara-negara eropa sudah memulai gerakan ini dengan memiliki badan resmi dan mengatur peredaran game-game yang masuk ke negaranya. Di Korea Selatan ada Game Rating Board, Eropa ada PEGI (Pan European Game Information), di Amerika ada Video games Rating Council (V.R.C), Australia ada Australian Classification Board, Jepang punya CERO atau Computer Entertainment Rating Organization bahkan Persia pun memiliki ESRA atau Entertainment Software Rating Association.
Sedangkan Indonesia? belum ada langkah proteksi awal seperti negara-negara yang disebut diatas. Industri game kita memang masih sangat baru. Sepertinya belum banyak mendapat perhatian penuh dari para stakeholder industri game di Indonesia. Ini adalah pintu awal petaka persoalan dampak negatif video game di indonesia. Mata rantai hilang yang pertama dalam persoalan ini. Negara tidak hadir dalam merespon dan proteksi secara awal dengan menyaring ekspansi pasar produk dan konten dari industri video game. Sementara, di daerah-daerah, sudah terjadi kasus-kasus kekerasan dan jatuh korban yang disebabkan tontonan berlebihan tanpa filter dan tanpa sensor dari video game.

III.             ORANG TUA, MEKANISME PARENTAL CONTROL, INTERAKSI ONLINE
Yang berikutnya ada di relasi antara produsen manufaktur video game dengan keluarga konsumen. Dalam hal mengurangi dampak negatif video game, produsen manufaktur video game juga sudah melakukan perannya. Mereka membuat kerjasama baik dengan ESRB untuk membantu upaya pengawasan dan monitoring orangtua dirumah bagi anak-anak mereka dengan menciptakan program setting parental control  di setiap platform video game modern. Setiap unit console rumahan yang kebanyakan dimiliki orang seperti Sony Playstation, Xbox, dan Nintendo dilengkapi dengan setting canggih yang memungkinkan si orangtua mengatur secara ketat  bagaimana anak-anaknya bermain video game, berapa lama, game apa saja yang bisa dimainkan sekaligus memastikan pengalaman bermain video game yang aman dan terjamin. Sistem ini mudah di-apply dan dibuat seringkas mungkin agar orang tua bisa melakukan pengawasan secara langsung dan dapat membatasi konten-konten yang tidak sesuai dengan gaya pendidikan keluarga dirumah.
Ini salah satu substansi sekaligus juga mata rantai yang hilang dalam persoalan stigma dan dampak negatif video game ke anak. Informasi ini tidak banyak diketahui oleh konsumen, apalagi orangtua dan anak-anak kita. Ketidaktahuan akan informasi berharga dan penting seperti ini adalah salah satu bukti distribusi informasi yang tidak merata. Penulis yakin, informasi ini sudah “alfa” sejak konsumen membeli paltform video game mereka. Artinya, toko-toko atau usaha sejenis ini juga dikhawatirkan tidak memberi info lebih detail tentang barang dagangan mereka, disamping tidak adanya badan rating resmi di negara kita yang juga mestinya menjalankan fungsi sosialisasi, rating, pengawasan konten termasuk distribusi informasi. Maka jelas, posisi ini tidak seimbang. Konsumen kita terlalu polos, minim informasi, membeli barang/produk dengan tanpa “pendampingan”. Lemah karena minim proteksi.
Adapun informasi cara menyeting parental controls sesuai himbauan ESRB sebagai berikut.
Jenis Platforms
Cara seting
Microsoft Xbox 360
-          Pada dashboard Xbox > Setting > Family settings > tekan tombol A untuk masuk ke “console controls” > tekan tombol A pada “Game ratings”, kemudian pilih tingkat maximum rating ESRB yang sekiranya tepat bagi anak-anak > “set pass code” tekan dua kali tombol A, kemudian masukkan 4 kode dari tombol stik kontrol Xbox, disini silahkan pilih pertanyaan sekaligus jawab jika sewaktu-waktu butuh reset pasword > pilih “done” pada “Set pass code” dan “console controls” untuk menyimpan hasil setingan > pilih “yes, save changes” untuk aktivasi.[1]
Nintendo Wii
-          Wii menu > Wii Options > Wii Settings >Wii system settings 2 menu options > parental controls, kemudian pilih “yes” > masukan 4 digit nomor PIN, kemudian pilih “ok”, setelahnya akan ada pertanyaan rahasia yang akan muncul sewaktu-waktu jika nomor PIN salah/lupa. Kemudian pilih “ok” > game stiings and PIN > Pilih “Highest game rating allowed, pilih “ok” > confirm > setting complete.[2]
Sony Playstation 3 dan Playstation portable (PSP)

-          Main menu, Settings > security setttings > parental control. Dalam menu ini, disediakan urutan nomer yang disesuaikan dengan tingkat restriksi yang diinginkan, makin rendah nomernya makin tinggi restriksinya, karena nomer restriksi pada platform ini disesuaikan dengan ketegori rating dari ESRB[3].
PC (Windows vista)
-          Start menu >  masukan “par” pada kolom “instant search” > parental controls > setting > klik “create a new user account”, masukan username > klik “create account”, ditahap ini banyak opsi yang bisa dipilih, diantaranya pembatasan akses internet, permainan komputer, sampai memperketat batasan waktu untuk penggunaan “kapan dan berapa lama” komputer bisa digunakan.[4]

Dari tabel diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa semua jenis paltform rumahan umum diatas kurang lebih memiliki fitur yang sama dalam memberi jaminan bermain yang aman. Jika dirunut, Sony PS3&Psp memiliki tahap yang lebih mudah dibanding yang lain. Microxoft Xbox dan Nintendo hampir memiliki jumlah tahap yang sama walaupun tidak semudah Sony. Sedangkan seting untuk PC di windows vista sepertinya lebih familiar bagi pengguna media ini karena biasanya lebih sering mereka gunakan dirumah juga di tempat kerja. Selain itu, yang bisa dibahas dari tabel diatas adalah penggunaan password/PIN setiap akun username. Ada baiknyya setiap anak memiliki akunnya sendiri lengkap dengan kunci/PIN passwordnya masing-masing. Tentunya dengan sepengetahuan orangtua. Penggunaan PIN untuk username menjamin pengggunaan yang sesuai seting restriksi. Cara ini akan memberi edukasi kepada anak-anak bahwa mereka harus bisa bermain dalam satu tata aturan yang disepakati bersama. Dengan begitu, orangtua dan pengalaman bermain video game si anak dipastikan dalam kontrol penuh tanpa mengurangi esensi dari bermain video game tersebut, yaitu FUN.
Namun masih ada satu isu lagi yang perlu orangtua perhatikan. Yaitu online gaming, dimana kita bermain video game/komputer secara online melalui jaringan internet. Semua spesifikasi platform gaming modern saat ini sudah mendukung pemainnya untuk terhubung dan bermain secara online bersama siapapun dibelahan dunia ini. Dan jenis permainan lintas genre saat ini juga sudah memiliki fitur online/multiplayer melalui dukungan jaringan internet. Konsep ini dikenal dengan istilah MMO.[5] Perihal fitur online ini, orangtua harus lebih waspada. Karena setidaknya dua sebab utama. Pertama, ESRB tidak memberi kategori rating untuk video game atau permainan berbasis internet, berbeda dengan jenis video game yang dimainkan dengan media cd/dvd untuk playstation, Xbox, Psp, Atau PC. Kedua, potensi interaksi online yang defendless dan tanpa proteksi dari industri.
 Tidak adanya kategori rating untuk game online oleh ESRB lebih disebabkan karena konten jenis permainan online tidak bisa diprediksi, dinamis dan cenderung menciptakan  unsur “kebebasan”. Setiap pemain akan dihadapkan pada kemungkinan berbagai macam pola interaksi via internet. Interaksi online ini yang tidak bisa dikelola oleh ESRB. Interaksi online bukan sebuah konten yang baku seperti “packaged and boxed” video game. Ia sangat dinamis. Interaksi online dalam video game umumnya terjadi malalui device seperti headset, camera online, chat tab dan berbasis teks dan audio-visual.
Interaksi online adalah konten bebas, dan bukan sesuatu yang bisa ditangani,dimonitor dan dikontrol seperti paparan yang diutarakan diatas. Tidak ada mekanisme kontrol dalam interaksi online. Tidak ada parental control seperti tabel diatas. Potensi bahaya interaksi online bertambah dengan adanya free downloadable program yang dikenal dengan istilah “mod”. Dalam istilah lain, patch, atau DLC (Downloadable Content). Mods ini biasanya bagian dari siklus update musiman permainan video game tersebut. Ini sebab dikenal istilah “updated version”. Sebenarnya bukan Mods, DLC atau patch-nya yang perlu dikuatirkan, namun bagaimana semua itu membuka banyak jendela kemungkinan baru bagi interaksi online para pemain melalui kemampuan para pemain ini memodifikasi konten permainan mereka yang justru tidak sejalan dengan kebijakan ESRB dengan memanfaatkan mods tersebut. Simak caption berikut ini:

"Online Interaction Not Rated by the ESRB ”- Warns those who intend to play the game online about possible exposure to chat (text, audio, and video) or other types of user-generated conten (e.g., maps,skins) that have not been considered in the ESRB rating assignment "[6]

Look Out for Mods. Some games offer players the ability to modify their content, sometimes in ways that are not con­sistent with the ESRB rating. These changes can be made by using a special cheat device or a free downloadable program called a “mod” that any other player can download for free”.[7]

Pihak ESA dan ESRB sendiri sudah menjalankan kampanye yang informatif dengan tujuan tumbuh peran edukatif dan pendampingan global dari para orangtua kepada anak-anak mereka. ESRB berkerja seinformatif mungkin menjelaskan dan memberi penerangan yang cukup bagi semua kalangan video gamer yang memainkan produk video game. Mereka menciptakan sebuah mekanisme general yang bisa diikuti dengan mudah oleh orangtua dalam mendampingi anak-anak mereka saat sedang bermain video game. Memberi edukasi kepada anak jauh lebih baik, tepat dan proprsional dibanding menghukum mereka secara berlebihan. Hal ini banyak tercermin dari fenomena penyikapan kita yang tidak seimbang kepada anak dan siswa sekolah yang bermasalah dengan video game. Kasus umum dan sehari-hari persoalan anak dan siswa sekolah menyangkut video game di Indonesia sepertinya bermuara di keberadaan rental PS/warnet dan bagaimana siswa sekolah melanggar jam belajar.
Dalam soal ini, pendidikan primer keluarga dan pendekatan kultural dari pihak sekolah adalah jawabannya. Bukan dengan hukuman berlebihan, razia oleh satpol PP atau memberi poin skorsing di sekolah. Di keluarga, orangtua bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan anaknya. Mendampingi, memberi informasi, monitoring, dan menjadi sumber informasi bagi anak saat bermain video game adalah peran utama orangtua dalam kerangka edukasi primer di rumah. Sekolah harus menggali pendekatan lain selain memberi poin skorsing bagi siswanya yang ketahuan sedang bermain game di rental/warnet. Pendekatan kultural yang inovatif, menyeluruh dan terintegrasi dalam segala kesempatan penanaman nilai kepada siswa akan menjadi alternatif yang tepat daripada razia bersama satpol PP. Cara represif tidak akan menyelesaikan persoalan yang kita bahas, cara-cara itu hanya menambah jengkel orangtua, menciptakan sikon yang tidak kondusif, dan tidak solutif. Razia siswa sekolah oleh pihak sekolah dan satpol PP hanya akan menciptakan persoalan baru dimana dikuatirkan tercipta kesenjangan jarak sosial yang lebar antara anak/siswa-orangtua-sekolah. Siswa bisa jadi justru membenci pihak sekolah. Tindakan itu bisa merubah persepsi siswa terhadap sekolah yang justru harusnya menjadi tempat yang nyaman untuk belajar, mencari ilmu, dan sumber pencerahan baginya. Apa guna juga satpol PP bagi masalah ini?. Apa yang kita harapkan dari senjangnya relasi sosial segitiga antara anak/siswa-orangtua-sekolah ditengah upaya kita menelusuri mata rantai yang hilang mengenai stigma dan dampak negatif video game terhadap anak? Tidak ada. Malah bisa dipastikan persoalan ini akan terus ada dan kita semua hanya berjalan ditempat.

IV.             KESIMPULAN
Kemudian seharusnya bisa dipahami bahwa kasus-kasus yang muncul dipermukaan terkait video game ini merupakan bentuk hubungan dialektis yang tidak utuh dengan kecenderungan persoalan ketidakhadirannya badan rating resmi di Indonesia dan tidak sampainya informasi yang lengkap ke orangtua untuk pendidikan keluarga demi anak-anak mereka dirumah terkait bagaimana bermain video game dengan aman dan terjamin. Penanaman nilai dan pemahaman cara bermain aman dengan sistem “parental control” ini semestinya berhasil menekan dampak negatif video game terhadap anak-anak dirumah jika orangtua benar-benar memainkan peranannya secara maksimal. Industri game sudah melakukan yang terbaik dengan menciptakan sistem pengawasan bersama ESRB disetiap platform yang mereka jual ke pasar, kemudian tentunya orangtua yang paling diharapkan memainkan perannya seiring sistem “parental control” ini agar semua orang menjadi paham bahwa bermain game benar-benar menyenangkan dan terjamin tanpa harus cedera, atau khawatir memikirkan dampak negatifnya.




[3] 2-EC (Early childhood 3+), 3-E (Everyone 6+), 4-E10 (Everyone 10+), 5-T (Teen 13+), 9-M (mature 17+),  10-AO (Adults only 18+), cek juga www.us.playstation.com/support
[5] Massive Multiplayer Online
[7] Additional online safety measure. A PARENTS’S GUIDE TO VIDEO GAME, PARENTAL CONTROLS AND ONLINE SAFETY. PTA and ESRB. 2008. Page 14