Senin, 30 Desember 2013

Catatan Akhir Tahun 2013 "Indonesia kita vs Korupsi"

Indonesia Kita vs Korupsi
Oleh:
Johan Nurul Imani S.Sos

Tercatat sebanyak 228 kasus korupsi sudah diungkap dan  diusut oleh KPK. 228 diantaranya sudah inkracht. Jumlah ini belum ditambah dengan kasus-kasus yang sedang atau sudah ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Sedangkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah Menurut data Kemendagri, sampai akhir tahun Juni 2013, terdapat 21 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Walikota, 20 Wakil Walikota yg tersangkut kasus hukum, sebagian besar perkara korupsi.[1]
Juga sesuai dengan laporan resmi di konferensi pers KPK siang ini, ada banyak hal yang bisa dikomentari terkait kasus korupsi dan penanganannya. Data KPK menyebut bahwa KPK menggunakan Rp. 357,6 M dari APBN yang dianggarkan sebesar Rp. 703,8 M. Dengan dana operasi sebanyak itu, KPK berhasil mengembalikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari TPK dan gtatifikasi sebesar Rp 1,196Triliun. Ini suatu pencapaian yang baik dan patut diapresiasi dimana penyerapan anggaran hanya setengah dari total APBN yang dianggarkan untuk KPK namun berhasil mengembalikan penerimaan negara yang jumlahnya hampir 4 kali lipat dari anggaran KPK yang terserap . KPK mencatat sudah 76 penyidikan, 102 penyidikan, 66 penuntutan dengan 2 kasus besar terakhir yaitu Penangkapan ketua MK Akil Mochtar dan penangkapan Gubernur perempuan pertama , Ratu Atut Chosiyah.
Kasus yang KPK ungkap di penghujung tahun 2013 ini menangkat sebuah tema berbeda dari kasus-kasus yang sebelumnya. Jika trend kasus korupsi sebelumnya banyak melibatkan politisi, pengusaha, pejabat negara, pemimpin partai, menteri dan artis, kini dongeng pemberantasan korupsi memasuki sebuah tema baru akhir tahun, yaitu korupsi di lingkaran Politik Dinasti dengan konteks pilkada. Lingkaran korupsi dalam pilkada yang diusut KPK ini berpusat pada kekuatan politik dinasti keluarga di provinsi Banten. Penangkapan Akil Mochtar dan Ratu Atut Chosiyah adalah bentuk pengembangan dari kasus penangkapan adik Atut, yaitu Tubagus Chaery Wardan dalam upayanya menyuap ketua MK Akil Mochtar.
Melalui pengungkapan suap Ketua MK ini oleh Tubagus Chaery Wardana alias Wawan, terbukalah fakta-fakta penting terkait bagaimana virus dan praktik kotor korupsi sudah menguasasi Mahkamah Konstitusi. Akil sebagai pimpinan MK, disinyalir menerima uang kotor dari pihak yang bersengketa atau berpekara di pilkada. Bagi akil, “kalah atau menang” di Pilkada adalah duit. Menurut Direktur Pukat UGM, Oce Madril, ada dua modus yang dijalankan Akil. Pertama dengan menjual putusan, dan kedua memanfaatkan kegalauan pihak-pihak yang bersengketa dengan manarik imbalan, dengan begitu Akil akan menoreh keuntungan[2]. Ini diluar akal sehat dan pukulan telak bagi dunia hukum kita, bahwa hukum bisa dengan mudahnya dibeli. Lantas, kepada siapa kita berpaling jika ketua MK saja korup?.
Tidak luput juga dari pengamatan bahwa dipenghujung tahun 2013 ini, ada angin segar bagi dunia pemberantasan korupsi  dimana banyak terpidana koruptor dihukum dengan hukuman penjara yang cukup lama. Kita mencatat, majelis hakim pengadilan DKI jakarta memperberat hukuman Djoko Susilo dengan 18 tahun penjara, jauh lebih berat dari putusan di pengadilan tingkat pertama, 10 tahun. Djoko susilo dinyatakan terbukti melakukan korupsi , dihukum penjara, harus mengembalikan kerugian negara sebesar 32 Milyar dan tidak hak politiknya dicabut. Selain hukum penjara, sita harta, Djoko Susilo dihukum dihilangkan hak dipilih dan memilihnya sebagai pejabat publik. Luar biasa. Kita juga mengingat vonis hukuman penjara terpidana Angelina Sondakh yang diperberat menjadi 12 tahun dimana sebelumnya angie divonis bersalah memainkan anggaran dan dihukum “hanya” 4 tahun. Ancaman kepada tersangka Ratus Atut atas korupsi alkes dan suap ketua MK juga tersebut 18 tahun penjara. Juga tidak kita lupa berbagai terpidana kasus-kasus korupsi besar yang saat ini masih menjalani hukumannya. Ketiga kasus korupsi dan putusan hukumannya diatas memberi satu gejala perubahan atau trend baru dimana koruptor kini tidak akan punya kesempatan lagi untuk tersenyum dan melambaikan tangannya lagi bak selebritis pasca putusannya dibcakan, karena ia tidak akan sempat melakukan itu akibat putusan sidang yang memenarakannya dalam waktu lama.
Di level grassroot, lapisan sosial ini memiliki bergandengan dengan berbagai kekuatan kelompok dari para penggiat anti korupsi dari berbagai level dan kalangan. Mereka menjadi mesin bagi gerakan perlawanan dan pemberantasan praktik korupsi di daerah. Walaupun sifatnya lokal, namun seringkali kontribusi mereka justru mampu merubah peta pembarantasan korupsi hingga ke level nasional. Tidak jarang hasil penelusuran, temuan, dan laporan mereka menjadi pintu awal sebuah pengungkapan kasus-kasus besar di daerah. Trend ini juga menguat di penghujung 2013. Hanya saja tidak banyak disorot. Diantaranya yang bisa diangkat dari gambara bagaimana daerah memiliki corak gerakannya yang khas adalah peran tokoh-tokoh penggiat anti korupsi yang menjadi “whistle blowerí” atau justice collaborator dalam mengungkap kasus-kasus penyimpangan oleh pusat-pusat kekuasaan di daerah. Kita ambil tiga contoh, yaitu mantan terpidana yang juga bekas anggota DPR F-PDIP Agus Condro, Muchasonah yang seorang guru Mts di Jombang, dan terakhir Erwinus Laia yang seorang pegiat anti-korupsi dari kepulauan Nias.
Cerita sepak terjang Agus condro dan dua nama lainnya memiliki kesamaan, yaitu jengah terhadap sistem busuk yang ada dan sama-sama mengingingkan perbaikan sistem hingga bersih dari korupsi. Dan mereka memulai usahanya dengan membongkar satu demi satu permasalahan korupsi sesuai bidang yang menjadi perhatian mereka.
Agus Condro adalah anggota fraksi PDIP DPR yang dipidana penjara karena menerima cek/suap dalam proses pemilihan gubernur BI. Agus Condro menempuh babak baru ketika dinamika politik ditengah penyelesaian kasusnya tidak mengutungkan dirinya. Akhirnya, ia balik melawan. Dengan memilih jalan sebagai justice collaborator dan mulai membongkar siapa-siapa saja yang ada dibalik dan menerima cek pelawat pemilihan gubernur BI saat itu. Hasilnya luar biasa, pengakuannya menyeret 29 anggota DPR, Nunun Nurbaeti istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun, dan menjatuhkan vonis 3 tahun penjara kepada Miranda Goeltom karena terbukti melakukan korupsi sesuai pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kini, Agus Condro menjadi corong utama gerakan sipil memerangi praktik korupsi di daerahnya kini tinggal dan mengahabiskan masa tuanya selepas menjalani hukuman penjara, yaitu di desa Pasekaran, Batang-jawa tengah. Rumahnya adalah pusat aktivis-aktivis anti korupsi daerah berkumpul, berdiskusi dan mengatur rencara-rencana strategis. Kini ia menjadi narasumber seminar-seminar yang digelar di daerah terkait gerakan penyadaran akibat korupsi. Ia juga menjadi motivator bagi gerakan antikorupsi, himpunan mahasiswa, hingga perguruan tinggi. Sekarang, ia adalah seorang provokator bagi anak muda agar sadar dan ikut melawan praktik korupsi. Sepak terjanganya di daerah cukup signifikan. Pada tahun 2005 lalu, Agus Condro berhasil menyeret mantan Bupati Batang, Bambang Bintoro atas kasus korupsi APBD 2004 dimana anggaran eksekutif sebesar Rp 796 juta itu digunakan untuk mendanai premi asuransi 45  anggota DPRD. Selain itu, Agus Condro beserta barisan akitivis anti korupsi yang ia bentuk GERTAK (Gerakan Tangkap Koruptor) juga berhasil menjebloskan sejumlah kepala dinas di Batang atas korupsi APBD kendal pada 2003 sehingga mantan Bupati Handy Boedoro dipenjara lima tahun pada 2007 lalu.
Masih di pulau jawa, tepatnya di Jombang, ada tokoh bernama Muchasonah. Beliau seorang guru di Mts negeri Jombang. Guru yang satu ini dikenal memiliki sikap tegas dan integritas yang tinggi di lingkungan sekolah tempat ia mengajar. Namanya mulai dikenal saat Muchasonah berhasil membongkar penggelembungan gaji cpns di kantor Departemen Agama Jombang pada 2005 lalu. Namun di 2003, Muchasonah sudah membuat geger banyak pihak di sekolah tempatnya mengajar dengan membongkar dugaan penyalahgunaan aset Mts di kecamatan Jombang. Sekolah yang semula dikelola yayasan, diubah statusnya menjadi Mts negeri. Namun realitas berkata lain, Mts Negeri itu ternyata masih dikelola yayasan merkipun berganti status milik negara. Disini Muchasonah melihat potensi penyalahgunaan dana madrasah. Berbagai indikasi mulai menambah kejengkelan pengelolaan madrasah ketika ada pebaikan lima kelas dan pemalsuan tandatangannya sebagai kepala tata usah madrasah uuntuk perintah membayar oleh pengurus yayasan. Ia melapor ke polisi. Alhasil, Muchasonah mulai menjadi “public enemy”. Keputusannya menjadi whistle blower, disadarinya tidak selalu berakibat baik kepadanya. Salah satunya ada mutasi dirinya dari kepala tata usaha menjadi seorang staf tata usaha di kantor urusan agama Jogoroto. Muchasonah melawan. Gugatannya menang di PTUN. Kiprahnya tidak biasa bagi seorang pegawai negeri, ia kritis dan getol melaporkan ketidakberesan disekitarnya. Strateginya apik, dalam membongkar kasus yang ia soroti, Muchasonah melaporkan kasus-kasus itu ke berbagai lembaga sekaligus, mulai dari kepolisian resor Jombang, ICW, KPK hingga Ombusdman. “biar penegak hukum berkompetisi” ujarnya.
Dari kepulauan Nias, ada sosok dengan nama Erwinus Laia. Di Nias, ia juga single fighter sekaligus whistle blower. Debutnya dimulai dengan melaporkan sorang petinggi PN Nias atas dugaan menerima gratifikasi atas perkara sengketa tanah. Disamping itu, Erwin juga terus memantau lusinan laporannya yang lain. Adapun dua kasus besar yang ia ungkap terkahir adalah dugaan penyalahgunaan dana bantuan bencara Nias selatan pada 2011 yang diduga merugikan negara sebesar Rp 5 Miliar dan penggelembungan anggaran pengadaan tanah untuk lahan benih induk pada 2012 lalu. Pilihannya sebagai peniup peluit menuai ancaman dan teror. Pernah sekali ia mendapati kesaksian preman yang di-order untuk menghabisi nyawanya. Keyakinannya atas pengelolaan pemmerintah yang baik adalah satu-satunya motivasi dari sepak terjangnya sampai saat ini.
Itulah gambaran perjuangan melawan korupsi didaerah. Gerakan yang dipimpin oleh orang yang bukan siapa-siapa. Muchasonah dan Erwin adalah putra-putri daerah yang hanya menginginkan daerahnya bebas korupsi dan memilih jalan terjal agar keingingannya tercapai. Dengan segala resikonya, mereka terus menerjang. Dipenghujung 2013 ini, kita semua berharap gerakan perlawanan, penyadaran, pendampingan anti korupsi semakin tumbuh dan kembang di berbagai level, tingkat, lapisan masyarakat dan pemerintahan. Agar apa yang pernah disebut wakil piminan KPK Bambang Widjojanto sebagai “Island of Honesty” benar-benar terwujud. Demi Indonesia yang merdeka, sejahtera dan bebas Korupsi.