Oleh:
Johan Nurul
Imani S.Sos
I.
PENDAHULUAN
Ada persoalan memuncak ditengah keluarga
Indonesia, tingkah laku anak-anak kita yang makin bermasalah menjadi pusat perhatian
orangtuanya. Diduga, video game adalah penyebabnya. Orangtua mengeluhkan
kemunduran prestasi dikelas, tidak produktifnya anak, tingkah laku yang berubah,
agresivitas, bahasa yang kasar, sikap melawan orang tua, uang jajan boros,
sampai bentuk adanya laporan kasus kekerasan fisik yang mengakibatkan cedera
hingga hilangnya nyawa. Ada apa sebenarnya?
Keterkaitan antara video game dengan
perkembangan anak yang buruk sebenarnya
sudah banyak dibahas. Namun, apa setelahnya persoalan dan stigmanya yang negatif
tentang video game menjadi suatu kesimpulan akhir dan di-amin-i oleh semua
pihak termasuk kita? Bahwa, kesimpulan objektif dari hasil penelitian dan opini
subjektif sekalipun membawa kita pada konklusi akhir jika video game itu buruk?
Jika ingin memahami pendapat lain, setidaknya ikuti narasi alternatif ini
hingga akhir.
Video game merupakan salah satu industri
besar skala global yang sudah berjalan puluhan tahun. Industri tersebut sudah
memiliki jaringan global dan produk yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Sejak
kelahirannya, sulit untuk menjawab keluarga mana dibelahan bumi ini yang tidak
memiliki produk industri tersebut. Setiap keluarga bisa dipastikan pernah membeli
dan memainkannya. Video game disukai semua orang.
Namun bisa dikatakan semuanya berubah
ketika kasus pertama dampak negatif dari video game mulai muncul ke permukaan
dan menjadi perhatian semua pihak. Persoalan ini menjadi makin hangat di
lingkungan keluarga justru karena yang menjadi korban dampak negatif dari video
game adalah anak-anak. Orang tua menjadi semakin khawatir karena merasa
anak-anak mereka dalam bahaya. Sejak itu orangtua mulai menyimpan dan melarang
video game untuk dikonsumsi anak-anak mereka. Tapi persoalan ini tidak berhenti,
kasus demi kasus masih muncul secara sporadis. Disaat bersamaan, stigma bahwa video game memberi
dampak negatif terkonstruksi ditengah lingkungan keluarga. Kini, telah ada
garis lurus dan baku mengenai pemahaman bahwa video game akan memberi dampak
negatif.
Sebenarnya, tidak begitu juga. Sesungguhnya,
ada beberapa mata rantai yang hilang ditengah fenomena video game kaitannya
dengan dampak negatif video game ditengah masyarakat kita. Industri game adalah
sebuah dunia luas yang tidak berdiri sendiri dan bebas bekeliaran seperti
layaknya bola liar kesana kemari. Industri game sudah sekian puluh tahun
berdiri. Jepang dan Eropa adalah awal dan masih menjadi jantung bagi industri
sekaligus segmen pasar utama dari industri modern tersebut. Persoalan dampak
negatif video game ditengah lingkungan ini harus dicermati dan diurai dari hulu
sampai hilir.
II.
INDUSTRI
VIDEO GAME DAN BADAN RATING : Fungsional Kontrol Sosial
Industri ini beserta semua pihak yang
ada didalamnya adalah hulu, dan keluarga ada hilir dari masalah ini. Ditengah-tengahnya
adalah blind spot yang akan
dijelaskan. Industri game didampingi oleh berbagai pihak dalam menangani
persoalan ini, dan itu dikenal dengan istilah ESRB. Entertainment software
rating board adalah badan rating internasional mandiri yang memiliki fungsi
rating dan kategori bagi jenis-jenis video game yang diproduksi ingustri game
dunia. Kategori ini berdasarkan konten atau isi dari video game tersebut.
ESRB dikenal sebagai badan regulator yang
memberikan penilaian pada video game, panduan beriklan, dan beberapa prinsip
privasi dalam game online. ESRB ini sudah terbentuk pada tahun 1994 oleh ESA, atau dikenal sebagai Entertainment Software Association. Saat
ini ESRB bermarkas di Kanada dan AS. ESRB sendiri sampai pada Juli 2012 lalu
sudah memberi rating lebih dari 22.000 judul game dari 350 publisher di seluruh dunia.
ESRB mencoba membuat batasan, dan
membangun kesadaran bagi siapapun pengguna produk video game agar play-safely. Bagaimanapun juga kita
semua adalah konsumen yang perlu dilindungi. Kenapa dilindungi? banyak kasus
dan fakta dilapangan kalau ternyata game-game saat ini penuh dengan konten yang
perlu kita filter atau saring.
Konten-konten yang dimaksud adalah adegan-adegan dewasa yang tidak semua
lapisan umur pemain bisa menerima dan mengerti. Terutama bagi anak kecil. Mereka adalah generasi yang masih rentan
dengan lingkungan baru dan bisa dengan mudah meng-imitasi apapun yang dilihat
di sekitarnya. ESRB, hadir di tengah lingkaran Industri video game untuk
menciptakan keseimbangan dan melindungi konsumen/pemain dengan sistem rating
mereka. ESRB akan memberi penilaian sesuai dengan konten dari game tersebut.
Semakin soft kontennya, makin ringan
ratingnya, dan semua orang dari segala
umur bisa main game tersebut. Tapi, jika sebaliknya, maka tidak semua lapisan
umur bisa main.
ESRB juga menjalankan peran memberi
“stempel” kategorisasi berdasarkan konten dan umur untuk sebuah game, tapi bukan
sebuah badan yang memiliki wewenang melarang peredaran sebuah game untuk
dipasarkan. ESRB bekerja dengan memberi kategorisasi sesuai mekanisme internal
mereka yang melibatkan para ahli dibidang pendidikan anak, akademisi, juga
representatif dari kelompok orang tua. Proses ini berakhir pada hasil dimana
sebuah game mendapat ratingnya. berikut contohnya:
Umumnya
ada enam kategori dari ESRB, 1. Ec (Early Childhood) 2.E(Everyone) 3.E+ (Everyone
10 and older) 4.T (Teen) 5.M
(Mature) 6.Ao (Adults Only).
Apa yang jadi tolak ukur sebuah game agar
bisa mendapat ratingnya?. Ada dua ukuran
yang digunakan dalam memberi rating sebuah game. Tingkat kekerasan (violence),
dan tingginya tingkat seksualitas dalam game tersebut. Selain itu ada juga
penggunaan bahasa yang kasar, humor yang kasar, simulasi praktik judi, eksploitasi darah dan sadisme, konten
alkohol, obat-obatan, rokok, hingga budaya nudis (telanjang). Semakin rendah/sedikit
konten sebuah game maka rating game tersebut bisa jatuh di peringkat E+,E
(everyone/semua orang). Rating yang memberi informasi bahwa game tersebut layak
dan diperuntukan bagi semua umur. Jika sebaliknya, khusus dewasa dan masuk ke
dalam rating M (mature/dewasa) atau
Ao (Adult only).
Negara-negara
eropa sudah memulai gerakan ini dengan memiliki badan resmi dan mengatur
peredaran game-game yang masuk ke negaranya. Di Korea Selatan ada Game Rating Board, Eropa ada PEGI (Pan European Game Information), di Amerika ada Video games Rating Council (V.R.C), Australia ada Australian
Classification Board, Jepang punya CERO
atau Computer Entertainment Rating
Organization bahkan Persia pun memiliki ESRA atau Entertainment
Software Rating Association.
Sedangkan Indonesia? belum ada langkah
proteksi awal seperti negara-negara yang disebut diatas. Industri game kita
memang masih sangat baru. Sepertinya belum banyak mendapat perhatian penuh dari
para stakeholder industri game di
Indonesia. Ini adalah pintu awal petaka persoalan dampak negatif video game di
indonesia. Mata rantai hilang yang pertama dalam persoalan ini. Negara tidak
hadir dalam merespon dan proteksi secara awal dengan menyaring ekspansi pasar
produk dan konten dari industri video game. Sementara, di daerah-daerah, sudah
terjadi kasus-kasus kekerasan dan jatuh korban yang disebabkan tontonan
berlebihan tanpa filter dan tanpa
sensor dari video game.
III.
ORANG
TUA, MEKANISME PARENTAL CONTROL, INTERAKSI ONLINE
Yang berikutnya ada di relasi antara
produsen manufaktur video game dengan keluarga konsumen. Dalam hal mengurangi
dampak negatif video game, produsen manufaktur video game juga sudah melakukan
perannya. Mereka membuat kerjasama baik dengan ESRB untuk membantu upaya pengawasan
dan monitoring orangtua dirumah bagi anak-anak mereka dengan menciptakan
program setting parental control di setiap platform video game modern. Setiap
unit console rumahan yang kebanyakan dimiliki orang seperti Sony Playstation,
Xbox, dan Nintendo dilengkapi dengan setting canggih yang memungkinkan si
orangtua mengatur secara ketat bagaimana
anak-anaknya bermain video game, berapa lama, game apa saja yang bisa dimainkan
sekaligus memastikan pengalaman bermain video game yang aman dan terjamin.
Sistem ini mudah di-apply dan dibuat
seringkas mungkin agar orang tua bisa melakukan pengawasan secara langsung dan
dapat membatasi konten-konten yang tidak sesuai dengan gaya pendidikan keluarga
dirumah.
Ini salah satu substansi sekaligus juga
mata rantai yang hilang dalam persoalan stigma dan dampak negatif video game ke
anak. Informasi ini tidak banyak diketahui oleh konsumen, apalagi orangtua dan
anak-anak kita. Ketidaktahuan akan informasi berharga dan penting seperti ini
adalah salah satu bukti distribusi informasi yang tidak merata. Penulis yakin,
informasi ini sudah “alfa” sejak konsumen membeli paltform video game mereka.
Artinya, toko-toko atau usaha sejenis ini juga dikhawatirkan tidak memberi info
lebih detail tentang barang dagangan mereka, disamping tidak adanya badan
rating resmi di negara kita yang juga mestinya menjalankan fungsi sosialisasi,
rating, pengawasan konten termasuk distribusi informasi. Maka jelas, posisi ini
tidak seimbang. Konsumen kita terlalu polos, minim informasi, membeli
barang/produk dengan tanpa “pendampingan”. Lemah karena minim proteksi.
Adapun informasi cara menyeting parental controls sesuai himbauan ESRB
sebagai berikut.
Jenis Platforms
|
Cara seting
|
Microsoft Xbox 360
|
-
Pada dashboard Xbox > Setting > Family settings > tekan tombol
A untuk masuk ke “console controls” > tekan tombol A pada “Game ratings”,
kemudian pilih tingkat maximum rating ESRB yang sekiranya tepat bagi
anak-anak > “set pass code” tekan dua kali tombol A, kemudian masukkan 4
kode dari tombol stik kontrol Xbox, disini silahkan pilih pertanyaan
sekaligus jawab jika sewaktu-waktu butuh reset pasword > pilih “done” pada
“Set pass code” dan “console controls” untuk menyimpan hasil setingan >
pilih “yes, save changes” untuk aktivasi.[1]
|
Nintendo Wii
|
-
Wii menu > Wii Options > Wii Settings >Wii system settings 2
menu options > parental controls, kemudian pilih “yes” > masukan 4
digit nomor PIN, kemudian pilih “ok”, setelahnya akan ada pertanyaan rahasia
yang akan muncul sewaktu-waktu jika nomor PIN salah/lupa. Kemudian pilih “ok”
> game stiings and PIN > Pilih “Highest game rating allowed, pilih “ok”
> confirm > setting complete.[2]
|
Sony Playstation 3 dan Playstation
portable (PSP)
|
-
Main menu, Settings > security setttings > parental control. Dalam
menu ini, disediakan urutan nomer yang disesuaikan dengan tingkat restriksi
yang diinginkan, makin rendah nomernya makin tinggi restriksinya, karena
nomer restriksi pada platform ini disesuaikan dengan ketegori rating dari
ESRB[3].
|
PC (Windows vista)
|
-
Start menu > masukan “par”
pada kolom “instant search” > parental controls > setting > klik
“create a new user account”, masukan username > klik “create account”,
ditahap ini banyak opsi yang bisa dipilih, diantaranya pembatasan akses
internet, permainan komputer, sampai memperketat batasan waktu untuk
penggunaan “kapan dan berapa lama” komputer bisa digunakan.[4]
|
Dari tabel diatas, bisa ditarik
kesimpulan bahwa semua jenis paltform rumahan umum diatas kurang lebih memiliki
fitur yang sama dalam memberi jaminan bermain yang aman. Jika dirunut, Sony
PS3&Psp memiliki tahap yang lebih mudah dibanding yang lain. Microxoft Xbox
dan Nintendo hampir memiliki jumlah tahap yang sama walaupun tidak semudah
Sony. Sedangkan seting untuk PC di windows vista sepertinya lebih familiar bagi
pengguna media ini karena biasanya lebih sering mereka gunakan dirumah juga di
tempat kerja. Selain itu, yang bisa dibahas dari tabel diatas adalah penggunaan
password/PIN setiap akun username. Ada baiknyya setiap anak memiliki akunnya
sendiri lengkap dengan kunci/PIN passwordnya masing-masing. Tentunya dengan
sepengetahuan orangtua. Penggunaan PIN untuk username menjamin pengggunaan yang
sesuai seting restriksi. Cara ini akan memberi edukasi kepada anak-anak bahwa
mereka harus bisa bermain dalam satu tata aturan yang disepakati bersama. Dengan
begitu, orangtua dan pengalaman bermain video game si anak dipastikan dalam
kontrol penuh tanpa mengurangi esensi dari bermain video game tersebut, yaitu FUN.
Namun masih ada satu isu lagi yang perlu
orangtua perhatikan. Yaitu online gaming, dimana kita bermain video
game/komputer secara online melalui jaringan internet. Semua spesifikasi
platform gaming modern saat ini sudah mendukung pemainnya untuk terhubung dan
bermain secara online bersama siapapun dibelahan dunia ini. Dan jenis permainan
lintas genre saat ini juga sudah memiliki fitur online/multiplayer melalui
dukungan jaringan internet. Konsep ini dikenal dengan istilah MMO.[5]
Perihal fitur online ini, orangtua harus lebih waspada. Karena setidaknya dua sebab
utama. Pertama, ESRB tidak memberi
kategori rating untuk video game atau permainan berbasis internet, berbeda
dengan jenis video game yang dimainkan dengan media cd/dvd untuk playstation, Xbox, Psp, Atau PC. Kedua, potensi interaksi online yang defendless dan tanpa proteksi dari
industri.
Tidak
adanya kategori rating untuk game online oleh ESRB lebih disebabkan karena
konten jenis permainan online tidak bisa diprediksi, dinamis dan cenderung menciptakan
unsur “kebebasan”. Setiap pemain akan
dihadapkan pada kemungkinan berbagai macam pola interaksi via internet. Interaksi
online ini yang tidak bisa dikelola oleh ESRB. Interaksi online bukan sebuah
konten yang baku seperti “packaged and
boxed” video game. Ia sangat dinamis. Interaksi online dalam video game umumnya
terjadi malalui device seperti headset, camera online, chat tab dan berbasis
teks dan audio-visual.
Interaksi online adalah konten bebas,
dan bukan sesuatu yang bisa ditangani,dimonitor dan dikontrol seperti paparan
yang diutarakan diatas. Tidak ada mekanisme kontrol dalam interaksi online. Tidak
ada parental control seperti tabel diatas. Potensi bahaya interaksi online
bertambah dengan adanya free downloadable
program yang dikenal dengan istilah
“mod”. Dalam istilah lain, patch,
atau DLC (Downloadable Content). Mods
ini biasanya bagian dari siklus update musiman permainan video game tersebut.
Ini sebab dikenal istilah “updated version”. Sebenarnya bukan Mods, DLC atau
patch-nya yang perlu dikuatirkan, namun bagaimana semua itu membuka banyak jendela
kemungkinan baru bagi interaksi online para pemain melalui kemampuan para
pemain ini memodifikasi konten permainan mereka yang justru tidak sejalan
dengan kebijakan ESRB dengan memanfaatkan mods tersebut. Simak caption berikut
ini:
"Online Interaction Not Rated by the ESRB ”- Warns those who intend to play the game online about possible exposure to chat (text, audio, and video) or other types of user-generated conten (e.g., maps,skins) that have not been considered in the ESRB rating assignment "[6]
“Look
Out for Mods. Some
games offer players the ability to modify their content, sometimes in ways that
are not consistent with the ESRB rating. These changes can be made by using a
special cheat device or a free downloadable program called a “mod” that any other
player can download for free”.[7]
Pihak ESA dan ESRB sendiri sudah
menjalankan kampanye yang informatif dengan tujuan tumbuh peran edukatif dan
pendampingan global dari para orangtua kepada anak-anak mereka. ESRB berkerja
seinformatif mungkin menjelaskan dan memberi penerangan yang cukup bagi semua
kalangan video gamer yang memainkan produk video game. Mereka menciptakan
sebuah mekanisme general yang bisa diikuti dengan mudah oleh orangtua dalam
mendampingi anak-anak mereka saat sedang bermain video game. Memberi edukasi
kepada anak jauh lebih baik, tepat dan proprsional dibanding menghukum mereka
secara berlebihan. Hal ini banyak tercermin dari fenomena penyikapan kita yang
tidak seimbang kepada anak dan siswa sekolah yang bermasalah dengan video game.
Kasus umum dan sehari-hari persoalan anak dan siswa sekolah menyangkut video
game di Indonesia sepertinya bermuara di keberadaan rental PS/warnet dan bagaimana
siswa sekolah melanggar jam belajar.
Dalam soal ini, pendidikan primer
keluarga dan pendekatan kultural dari pihak sekolah adalah jawabannya. Bukan
dengan hukuman berlebihan, razia oleh satpol PP atau memberi poin skorsing di
sekolah. Di keluarga, orangtua bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan
anaknya. Mendampingi, memberi informasi, monitoring, dan menjadi sumber informasi
bagi anak saat bermain video game adalah peran utama orangtua dalam kerangka
edukasi primer di rumah. Sekolah harus menggali pendekatan lain selain memberi
poin skorsing bagi siswanya yang ketahuan sedang bermain game di rental/warnet.
Pendekatan kultural yang inovatif, menyeluruh dan terintegrasi dalam segala
kesempatan penanaman nilai kepada siswa akan menjadi alternatif yang tepat
daripada razia bersama satpol PP. Cara represif tidak akan menyelesaikan
persoalan yang kita bahas, cara-cara itu hanya menambah jengkel orangtua, menciptakan
sikon yang tidak kondusif, dan tidak solutif. Razia siswa sekolah oleh pihak
sekolah dan satpol PP hanya akan menciptakan persoalan baru dimana dikuatirkan
tercipta kesenjangan jarak sosial yang lebar antara anak/siswa-orangtua-sekolah.
Siswa bisa jadi justru membenci pihak sekolah. Tindakan itu bisa merubah
persepsi siswa terhadap sekolah yang justru harusnya menjadi tempat yang nyaman
untuk belajar, mencari ilmu, dan sumber pencerahan baginya. Apa guna juga
satpol PP bagi masalah ini?. Apa yang kita harapkan dari senjangnya relasi sosial
segitiga antara anak/siswa-orangtua-sekolah ditengah upaya kita menelusuri mata
rantai yang hilang mengenai stigma dan dampak negatif video game terhadap anak?
Tidak ada. Malah bisa dipastikan persoalan ini akan terus ada dan kita semua
hanya berjalan ditempat.
IV.
KESIMPULAN
Kemudian seharusnya bisa dipahami bahwa
kasus-kasus yang muncul dipermukaan terkait video game ini merupakan bentuk
hubungan dialektis yang tidak utuh dengan kecenderungan persoalan
ketidakhadirannya badan rating resmi di Indonesia dan tidak sampainya informasi
yang lengkap ke orangtua untuk pendidikan keluarga demi anak-anak mereka
dirumah terkait bagaimana bermain video game dengan aman dan terjamin.
Penanaman nilai dan pemahaman cara bermain aman dengan sistem “parental control” ini semestinya berhasil
menekan dampak negatif video game terhadap anak-anak dirumah jika orangtua
benar-benar memainkan peranannya secara maksimal. Industri game sudah melakukan
yang terbaik dengan menciptakan sistem pengawasan bersama ESRB disetiap
platform yang mereka jual ke pasar, kemudian tentunya orangtua yang paling
diharapkan memainkan perannya seiring sistem “parental control” ini agar semua orang menjadi paham bahwa bermain
game benar-benar menyenangkan dan terjamin tanpa harus cedera, atau khawatir memikirkan
dampak negatifnya.
[3] 2-EC (Early childhood 3+), 3-E (Everyone 6+), 4-E10
(Everyone
10+), 5-T (Teen 13+), 9-M (mature 17+), 10-AO
(Adults only 18+), cek juga www.us.playstation.com/support
[5] Massive
Multiplayer Online
[7]
Additional online safety measure. A
PARENTS’S GUIDE TO VIDEO GAME, PARENTAL CONTROLS AND ONLINE SAFETY. PTA and
ESRB. 2008. Page 14