Senin, 30 Desember 2013

Catatan Akhir Tahun 2013 "Indonesia kita vs Korupsi"

Indonesia Kita vs Korupsi
Oleh:
Johan Nurul Imani S.Sos

Tercatat sebanyak 228 kasus korupsi sudah diungkap dan  diusut oleh KPK. 228 diantaranya sudah inkracht. Jumlah ini belum ditambah dengan kasus-kasus yang sedang atau sudah ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Sedangkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah Menurut data Kemendagri, sampai akhir tahun Juni 2013, terdapat 21 Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Walikota, 20 Wakil Walikota yg tersangkut kasus hukum, sebagian besar perkara korupsi.[1]
Juga sesuai dengan laporan resmi di konferensi pers KPK siang ini, ada banyak hal yang bisa dikomentari terkait kasus korupsi dan penanganannya. Data KPK menyebut bahwa KPK menggunakan Rp. 357,6 M dari APBN yang dianggarkan sebesar Rp. 703,8 M. Dengan dana operasi sebanyak itu, KPK berhasil mengembalikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari TPK dan gtatifikasi sebesar Rp 1,196Triliun. Ini suatu pencapaian yang baik dan patut diapresiasi dimana penyerapan anggaran hanya setengah dari total APBN yang dianggarkan untuk KPK namun berhasil mengembalikan penerimaan negara yang jumlahnya hampir 4 kali lipat dari anggaran KPK yang terserap . KPK mencatat sudah 76 penyidikan, 102 penyidikan, 66 penuntutan dengan 2 kasus besar terakhir yaitu Penangkapan ketua MK Akil Mochtar dan penangkapan Gubernur perempuan pertama , Ratu Atut Chosiyah.
Kasus yang KPK ungkap di penghujung tahun 2013 ini menangkat sebuah tema berbeda dari kasus-kasus yang sebelumnya. Jika trend kasus korupsi sebelumnya banyak melibatkan politisi, pengusaha, pejabat negara, pemimpin partai, menteri dan artis, kini dongeng pemberantasan korupsi memasuki sebuah tema baru akhir tahun, yaitu korupsi di lingkaran Politik Dinasti dengan konteks pilkada. Lingkaran korupsi dalam pilkada yang diusut KPK ini berpusat pada kekuatan politik dinasti keluarga di provinsi Banten. Penangkapan Akil Mochtar dan Ratu Atut Chosiyah adalah bentuk pengembangan dari kasus penangkapan adik Atut, yaitu Tubagus Chaery Wardan dalam upayanya menyuap ketua MK Akil Mochtar.
Melalui pengungkapan suap Ketua MK ini oleh Tubagus Chaery Wardana alias Wawan, terbukalah fakta-fakta penting terkait bagaimana virus dan praktik kotor korupsi sudah menguasasi Mahkamah Konstitusi. Akil sebagai pimpinan MK, disinyalir menerima uang kotor dari pihak yang bersengketa atau berpekara di pilkada. Bagi akil, “kalah atau menang” di Pilkada adalah duit. Menurut Direktur Pukat UGM, Oce Madril, ada dua modus yang dijalankan Akil. Pertama dengan menjual putusan, dan kedua memanfaatkan kegalauan pihak-pihak yang bersengketa dengan manarik imbalan, dengan begitu Akil akan menoreh keuntungan[2]. Ini diluar akal sehat dan pukulan telak bagi dunia hukum kita, bahwa hukum bisa dengan mudahnya dibeli. Lantas, kepada siapa kita berpaling jika ketua MK saja korup?.
Tidak luput juga dari pengamatan bahwa dipenghujung tahun 2013 ini, ada angin segar bagi dunia pemberantasan korupsi  dimana banyak terpidana koruptor dihukum dengan hukuman penjara yang cukup lama. Kita mencatat, majelis hakim pengadilan DKI jakarta memperberat hukuman Djoko Susilo dengan 18 tahun penjara, jauh lebih berat dari putusan di pengadilan tingkat pertama, 10 tahun. Djoko susilo dinyatakan terbukti melakukan korupsi , dihukum penjara, harus mengembalikan kerugian negara sebesar 32 Milyar dan tidak hak politiknya dicabut. Selain hukum penjara, sita harta, Djoko Susilo dihukum dihilangkan hak dipilih dan memilihnya sebagai pejabat publik. Luar biasa. Kita juga mengingat vonis hukuman penjara terpidana Angelina Sondakh yang diperberat menjadi 12 tahun dimana sebelumnya angie divonis bersalah memainkan anggaran dan dihukum “hanya” 4 tahun. Ancaman kepada tersangka Ratus Atut atas korupsi alkes dan suap ketua MK juga tersebut 18 tahun penjara. Juga tidak kita lupa berbagai terpidana kasus-kasus korupsi besar yang saat ini masih menjalani hukumannya. Ketiga kasus korupsi dan putusan hukumannya diatas memberi satu gejala perubahan atau trend baru dimana koruptor kini tidak akan punya kesempatan lagi untuk tersenyum dan melambaikan tangannya lagi bak selebritis pasca putusannya dibcakan, karena ia tidak akan sempat melakukan itu akibat putusan sidang yang memenarakannya dalam waktu lama.
Di level grassroot, lapisan sosial ini memiliki bergandengan dengan berbagai kekuatan kelompok dari para penggiat anti korupsi dari berbagai level dan kalangan. Mereka menjadi mesin bagi gerakan perlawanan dan pemberantasan praktik korupsi di daerah. Walaupun sifatnya lokal, namun seringkali kontribusi mereka justru mampu merubah peta pembarantasan korupsi hingga ke level nasional. Tidak jarang hasil penelusuran, temuan, dan laporan mereka menjadi pintu awal sebuah pengungkapan kasus-kasus besar di daerah. Trend ini juga menguat di penghujung 2013. Hanya saja tidak banyak disorot. Diantaranya yang bisa diangkat dari gambara bagaimana daerah memiliki corak gerakannya yang khas adalah peran tokoh-tokoh penggiat anti korupsi yang menjadi “whistle blowerí” atau justice collaborator dalam mengungkap kasus-kasus penyimpangan oleh pusat-pusat kekuasaan di daerah. Kita ambil tiga contoh, yaitu mantan terpidana yang juga bekas anggota DPR F-PDIP Agus Condro, Muchasonah yang seorang guru Mts di Jombang, dan terakhir Erwinus Laia yang seorang pegiat anti-korupsi dari kepulauan Nias.
Cerita sepak terjang Agus condro dan dua nama lainnya memiliki kesamaan, yaitu jengah terhadap sistem busuk yang ada dan sama-sama mengingingkan perbaikan sistem hingga bersih dari korupsi. Dan mereka memulai usahanya dengan membongkar satu demi satu permasalahan korupsi sesuai bidang yang menjadi perhatian mereka.
Agus Condro adalah anggota fraksi PDIP DPR yang dipidana penjara karena menerima cek/suap dalam proses pemilihan gubernur BI. Agus Condro menempuh babak baru ketika dinamika politik ditengah penyelesaian kasusnya tidak mengutungkan dirinya. Akhirnya, ia balik melawan. Dengan memilih jalan sebagai justice collaborator dan mulai membongkar siapa-siapa saja yang ada dibalik dan menerima cek pelawat pemilihan gubernur BI saat itu. Hasilnya luar biasa, pengakuannya menyeret 29 anggota DPR, Nunun Nurbaeti istri mantan Wakapolri Adang Daradjatun, dan menjatuhkan vonis 3 tahun penjara kepada Miranda Goeltom karena terbukti melakukan korupsi sesuai pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kini, Agus Condro menjadi corong utama gerakan sipil memerangi praktik korupsi di daerahnya kini tinggal dan mengahabiskan masa tuanya selepas menjalani hukuman penjara, yaitu di desa Pasekaran, Batang-jawa tengah. Rumahnya adalah pusat aktivis-aktivis anti korupsi daerah berkumpul, berdiskusi dan mengatur rencara-rencana strategis. Kini ia menjadi narasumber seminar-seminar yang digelar di daerah terkait gerakan penyadaran akibat korupsi. Ia juga menjadi motivator bagi gerakan antikorupsi, himpunan mahasiswa, hingga perguruan tinggi. Sekarang, ia adalah seorang provokator bagi anak muda agar sadar dan ikut melawan praktik korupsi. Sepak terjanganya di daerah cukup signifikan. Pada tahun 2005 lalu, Agus Condro berhasil menyeret mantan Bupati Batang, Bambang Bintoro atas kasus korupsi APBD 2004 dimana anggaran eksekutif sebesar Rp 796 juta itu digunakan untuk mendanai premi asuransi 45  anggota DPRD. Selain itu, Agus Condro beserta barisan akitivis anti korupsi yang ia bentuk GERTAK (Gerakan Tangkap Koruptor) juga berhasil menjebloskan sejumlah kepala dinas di Batang atas korupsi APBD kendal pada 2003 sehingga mantan Bupati Handy Boedoro dipenjara lima tahun pada 2007 lalu.
Masih di pulau jawa, tepatnya di Jombang, ada tokoh bernama Muchasonah. Beliau seorang guru di Mts negeri Jombang. Guru yang satu ini dikenal memiliki sikap tegas dan integritas yang tinggi di lingkungan sekolah tempat ia mengajar. Namanya mulai dikenal saat Muchasonah berhasil membongkar penggelembungan gaji cpns di kantor Departemen Agama Jombang pada 2005 lalu. Namun di 2003, Muchasonah sudah membuat geger banyak pihak di sekolah tempatnya mengajar dengan membongkar dugaan penyalahgunaan aset Mts di kecamatan Jombang. Sekolah yang semula dikelola yayasan, diubah statusnya menjadi Mts negeri. Namun realitas berkata lain, Mts Negeri itu ternyata masih dikelola yayasan merkipun berganti status milik negara. Disini Muchasonah melihat potensi penyalahgunaan dana madrasah. Berbagai indikasi mulai menambah kejengkelan pengelolaan madrasah ketika ada pebaikan lima kelas dan pemalsuan tandatangannya sebagai kepala tata usah madrasah uuntuk perintah membayar oleh pengurus yayasan. Ia melapor ke polisi. Alhasil, Muchasonah mulai menjadi “public enemy”. Keputusannya menjadi whistle blower, disadarinya tidak selalu berakibat baik kepadanya. Salah satunya ada mutasi dirinya dari kepala tata usaha menjadi seorang staf tata usaha di kantor urusan agama Jogoroto. Muchasonah melawan. Gugatannya menang di PTUN. Kiprahnya tidak biasa bagi seorang pegawai negeri, ia kritis dan getol melaporkan ketidakberesan disekitarnya. Strateginya apik, dalam membongkar kasus yang ia soroti, Muchasonah melaporkan kasus-kasus itu ke berbagai lembaga sekaligus, mulai dari kepolisian resor Jombang, ICW, KPK hingga Ombusdman. “biar penegak hukum berkompetisi” ujarnya.
Dari kepulauan Nias, ada sosok dengan nama Erwinus Laia. Di Nias, ia juga single fighter sekaligus whistle blower. Debutnya dimulai dengan melaporkan sorang petinggi PN Nias atas dugaan menerima gratifikasi atas perkara sengketa tanah. Disamping itu, Erwin juga terus memantau lusinan laporannya yang lain. Adapun dua kasus besar yang ia ungkap terkahir adalah dugaan penyalahgunaan dana bantuan bencara Nias selatan pada 2011 yang diduga merugikan negara sebesar Rp 5 Miliar dan penggelembungan anggaran pengadaan tanah untuk lahan benih induk pada 2012 lalu. Pilihannya sebagai peniup peluit menuai ancaman dan teror. Pernah sekali ia mendapati kesaksian preman yang di-order untuk menghabisi nyawanya. Keyakinannya atas pengelolaan pemmerintah yang baik adalah satu-satunya motivasi dari sepak terjangnya sampai saat ini.
Itulah gambaran perjuangan melawan korupsi didaerah. Gerakan yang dipimpin oleh orang yang bukan siapa-siapa. Muchasonah dan Erwin adalah putra-putri daerah yang hanya menginginkan daerahnya bebas korupsi dan memilih jalan terjal agar keingingannya tercapai. Dengan segala resikonya, mereka terus menerjang. Dipenghujung 2013 ini, kita semua berharap gerakan perlawanan, penyadaran, pendampingan anti korupsi semakin tumbuh dan kembang di berbagai level, tingkat, lapisan masyarakat dan pemerintahan. Agar apa yang pernah disebut wakil piminan KPK Bambang Widjojanto sebagai “Island of Honesty” benar-benar terwujud. Demi Indonesia yang merdeka, sejahtera dan bebas Korupsi.

Senin, 20 Mei 2013



Hangatnya Wedang susu Jahe Angkringan:
Semangat Nilai Tradisionalisme ditengah-tengah Pusaran Geliat Urban[1]
Studi kasus: ANGKRINGAN
Johan Nurul Imani[2]
4825056979
Sosiologi Pembangunan ’05 NR
Yuk jegang mas, Nyruput Wedang…

ABSTRAK
Banyak hal jika kita bayangkan dalam bicara kota. Agar tidak terlalu serius, bicarakanlah sambil duduk-duduk diteras ditemani kolega dengan secangkir teh manis hangat. Kota, bukan saja mengenai sesuatu benda-benda atau hal-hal yang modern an sich. Apa saja yang menopang kota dengan urbanisasinya agar tetap segar berjalan? Kota banyak diisi oleh berbagai fenomena. Angkringan adalah satu dari sekian banyak fenomena urban. Keberadaannya tak ubahnya PKL disiang hari. Hanya saja, bedanya mereka beraksi dari senja hingga larut malam. Tapi, bukan asal waktu berjualan saja yang membuatnya berbeda dari PKL-PKL kota lainnya. Budaya, Jajanan, Suasana, Nilai-nilai tradisionalnya membuat Angkringan sungguh menjadikan malam dikota berbeda drastis dari kejenuhan pada sehari-harinya. Dan dalam pergulatannya ditengah deras arus urban, angkringan mampu bertahan bahkan exist.

LATAR BELAKANG

Angkringan, sega kucing untuk masyarakat Jogja, atau nasi kucing istilah lainnya adalah sebuah fenomena urban yang ternyata telah menjadi warna yang menambah corak hidup perkotaan. Untuk membahas fenomena gejala sosial urban yang satu ini, bisa kita lihat dari multi-perspektif. Sehingga fenomena ini menarik untuk dikaji.
Perubahan sosial adalah keniscayaan[3]. Angkringan dan penggila jajanannya adalah elemen kecil dari perubahan sosial itu sendiri. Angkringan dapat dilihat sebagai pertumbuhan ekonomi lokal, bagian dari social change.
Untuk menyelami lebih dalam atas kajian ini. Kita bisa mencoba untuk memahami gejala urban-Angkringan-ini dengan membahas aspek sosial-ekonominya dengan perspektif yang sosiologis seperti bagaimana R. Park[4]  menyebut ekologi manusia. Gagasan yang intinya menjelaskan bagaimana konsep tata-ruang atau lingkungan yang melibatkan proses penyesuaian diri organisme dengan suatu pola akhir yaitu keseimbangan (equilibrium). Dimana kaitan Angkringan dengan gagasan R.Park? Angkringan dengan karakteristik jenis pekerjaan yang mudah dimasuki, bersumber pada sumber daya lokal, usaha milik sendiri dan beroperasi dalam skala kecil adalah satu ekonomi sektor informal yang mendampingi ekonomi sektor formal di perkotaan. Keberadaan keduanya ternyata mampu memberi penghidupan bagi mereka yang kita sebut sebagai kaum yang berjuang untuk terus berusaha meneruskan hidupnya di kota, yaitu kaum urban. Disinilah titik keseimbangan itu muncul.
Perspektif lain yang bisa digunakan untuk memahami kajian ini adalah gagasan kota sebagai arena konsumsi oleh Manuel Castell dari Spanyol. Gagasannya, adalah kenyataan bahwa penduduk kota adalah kumpulan konsumen. Dikota, mereka membutuhkan pangan, sandang, dan papan yang digunakan untuk mengembalikan kemampuan kerja mereka, setelahnya mereka kembali berkerja kemudian mengkonsumsi lagi. Dan mengacu pada castell, fenomena Angkringan ini pada dasarnya dapat kita pahami sebagai konstruksi lain sebagai arena “alternatif” interaksi-konsumsi kaum urban yang terjebak dalam rutinitas-rutinitas melelahkan perkotaan.

PROFIL HISTORIS

Angkringan (berasal dari bahasa Jawa ' Angkring ' yang artinya duduk santai) adalah sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung hik. Penampilannya cukup sederhana, gerobag angkringan umumnya ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar 6 hingga 8 orang pembeli. Mereka beroperasi mulai sore hari.
Makanan yang dijual meliputi nasi kucing, sate usus , sate telor puyuh, gorengan tempe-tahu dan lain-lain. Minuman yang ditawarkanpun beraneka macam seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Kesemuanya dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Range harganya berkisar mulai dari Rp.500 hingga Rp.3000
Meski harganya murah, namun konsumen warung ini sangat bervariasi. Mulai dari tukang becak, tukang bangunan, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pegawai kantoran. Suasana penuh kekeluargaan antar pembeli dan penjual yang terlihat mengobrol dengan santai menjadi pemandangan umum.
Angkringan juga terkenal sebagai tempat yang egaliter. bervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan latar belakang, strata sosial atau SARA menjelaskan hal tersebut. Mereka yang berbeda warna tersebut tampak khusyuk menikmati makanan sambil bebas ngobrol hingga larut malam - meskipun tak saling kenal - tentang berbagai hal atau kadang berdiskusi tentang topik-topik yang serius. Harganya yang murah dan tempatnya yang santai membuat angkringan sangat populer di tengah kota sebagai tempat persinggahan untuk mengusir lapar atau sekedar melepas lelah.

PEMBAHASAN OBJEK KAJIAN
Letaknya mudah dikenali, percis dipinggir jl. Pondok Kelapa Raya. Hampir setiap malam, gerobag angkringan yang dibawa oleh mas Sarno dan mas Aris[5] ini melayani para pelanggan setianya. Seperti yang dikatakan oleh mas Aris.

Iya mas, kita biasa mulai dari magrib,pulangnya malem,rata-rata jam 12 kita udah beres-beres”

Jam terbang pedagang Angkringan mulai sore atau magrib hingga larut malam memang lazim diketahui. Waktu operasional mereka juga bisa kita katakan men-general kepada semua pedagang angkringan. Alasan kenapa mereka memilih waktu yang cenderung malam untuk beroperasional/berdagang tidak spesifik. Tapi hal tersebut bisa kita anggap sebagai satu dari ciri khas pedagang Angkringan. Mungkin memang karena para pendahulunya sedari awal sudah berjualan dari sore hingga larut malamlah yang menjadi motif mereka. Sehingga waktu operasional itu tetap dijaga dan tidak berubah sampai saat ini. Maka strategi mereka berjualan bukan semata kita pandang sebagai satu bentuk mekanisme kerja mereka, bukan sebagaimana bentuk-bentuk usaha ekonomi modern yang mekanistis saat ini, melainkan strategi yang penulis sebut sebagai strategi yang berbasis pada nilai luhur dan budaya. Saat ditanya untuk memastikan hal tersebut, mas Sarno hanya menjawab singkat dengan logat jawa.

Nggeh mas, sudah dari dulu itu

Mungkin kita bisa sesaat membayangkan sega kucing[6], nasinya sedikit lauknya sederhana, hanya potongan ikan dengan sambal. Dibungkus dengan daun atau kertas koran mengkrucut keatas. Harga satuannya hanya Rp 1500. Kalau dimakan, habis dalam 4-5 sendok makan. Porsinya memang sedikit. Lantas apa yang membuat Angkringan ini menjamur dan begitu populer bagi orang-orang?.
Tepat kita sebut mereka-pedagang Angkringan-sebagai bentuk lain dari usaha-usaha informal. Satu  sektor usaha yang bertolak belakang dengan sisi sektor usaha yang lain(Formal). Sektor formal bisa kita pahami dalam pengertian pekerja bergaji dengan pekerjaan yang permanen, Industri, kantor-kantor pemerintah, bahkan perusahaan dengan karakteristik[7] sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang saling terkait, punya struktur, dan terorganisir
2. Resmi terdaftar dalam statistic perekonomian
3. Punya badan Hukum
Maka, sektor-sektor diluar kriteria tersebut layak kita sebut sektor-sektor informal. Sektor informal adalah sektor yang jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, sulit didata karena itu mereka sering dilupakan sensus resmi, apalagi sektor ini juga jarang dijangkau oleh hukum[8]. Namun tidak tepat sepenuhnya jika Angkringan itu adalah satu bentuk usaha sektor informal yang tidak terorganisir. Mereka juga punya prinsip-prinsip fundamental dalam berjualan. Selain waktu operasional , Pedagang Angkringan dijalan Pondok Kelapa Raya ini ternyata tidak sendirian. Mereka berkerja/berdagang secara berkelompok. Tersebar disekitar wilayah Jakarta timur hingga Pelosok jalan raya di wilayah Jakarta Pusat. Setidaknya masih ada 14 gerobag lain yang memiliki lokasi mangkalnya masing-masing.
Kita ada 15 mas, di Cempaka putih, Kampus Darma Persada,terus tikungan pertigaan Raden Inten itu juga masih sama mas, juga Pondok bambu”[9].
Setiap gerobag dioperasikan oleh dua orang dengan jadwal dagang tiap hari dalam satu minggu. seperti halnya pegawai negeri berkerja yang memiliki waktu libur di hari sabtu, para pedagang Angkringan juga memiliki jatah yang sama. Mereka diperbolehkan libur berjualan pada hari minggu, entah minggu pertama atau kedua yang jelas polanya dalam satu bulan mereka mendapat jatah dua kali libur di hari minggu.

Saya libur minggu mas, tapi ndak tiap minggu mas! minggu ini jualan, besoknya ya libur, nah minggunya lagi kita jualan

Bagaimana mobilitas mereka sehari-hari juga tampak teratur dan terencana. Titik setiap lokasi mereka beroperasi ditunjang dengan lokasi rumah kontrakan masing-masing. Rumah kontrakan ini berfungsi sebagai tempat mereka tinggal sementara, istirahat, dan bersiap untuk beroperasi kembali di malam harinya. Adanya lauk-pauk bukan lagi menjadi tugas yang berjualan saat itu. Ada pembagian kerja disini. Lauk-pauk yang diperjual belikan ternyata memiliki penyuplai sendiri. Masih dari bagian kelompok ini terntunya.

Lauk yang bikin bukan kita mas, saya ya jualan tok, yang buat ada sendiri. di drop sorenya”

Saat ditanya soal siapa yang menjadi bos diantara mereka[10], ternyata bukan keduanya. Masing masing wilayah punya juragannya masing-masing. Juragan ini berfungsi semacam supervisor atau koordinator tiap wilayah.

Ada mas Roso”

Dialah juragan mereka. Mas Roso sendiri masih satu kampung dengan istri dari mas Aris yang masih terhitung family di Solo. Hanya saja, saat wawancara mas Roso tidak berhasil diinvestigasi karena kebetulan saat itu mas Roso sedang beroperasi di depan kampus Darma Persada.
Para pedagang angkringan bukan hanya sebagai penjaja, tetapi juga teman ngobrol bagi pembeli. Minimal, mereka menjadi pendengar yang baik. Hubungan pembeli dan penjaja ini, lebih dari hubungan transaksi ekonomi, tetapi hubungan pertemanan. Bahkan pedagang Angkringan hafal di luar kepala jadwal mampir beberapa pelanggan setianya juga menu-menu favoritnya. Di angkringan orang boleh makan sambil tiduran, sambil mengangkat kaki, teriak, atau mengeluarkan sumpah-serapah. Tetapi tak jarang, angkringan jadi ajang diskusi.
Angkringan bukan lagi sebagai tempat makan melainkan tempat nongkrong, tempat berbagi, sumber inspirasi, bahkan bisa juga sebagai tempat refreshing. Angkringan adalah ruang bersama, ruang alternatif interaksi kota, yang merangkai banyak komunitas dari berbagai latar belakang. ANGKRINGAN, yang terkesan pinggiran, telah menjadi penanda kehidupan malam urban. Yang jelas, angkringan mudah dikenali karena tetap dengan ciri khasnya, yaitu gerobak kayu, makanan-minuman rumahan yang murah, dan tiga buah ceret.
Dalam konteks Angkringan, tidak ada larangan formal!. Kita hanya perlu menjaga budaya angkringan, yaitu tepo sliro (toleransi), kemauan untuk berbagi dan biso rumongso (menjaga perasaan orang lain). Tidak ada larangan untuk merokok, atau pemisahan bagi perokok pasif dan aktif oleh smoking area. Aturan dilarang merokok yang diterapkan di restoran-restoran modern tidak berlaku di Angkringan. Tidak ada wilayah pemisah bagi yang berperilaku merokok. Tidak ada pemandangan petugas security mal menegur pengunjungnya yang melanggar aturan merokok disini. Bahkan malah petugas security itu yang malam nanti mampir jegang di Angkringan dengan leluasa terlihat menikmati kepuasan merokok tanpa dihardik pelanggan yang lain. Nilai-nilai luhur kedaerahan itu sungguh merata dirasakan oleh pelanggan yang konon majemuk latar belakangnya.



Gw biasa ikut-ikutan ngomong jawa kalo lagi beli

Tukas Nana[11] yang punya darah sunda asli ini. Nilai-nilai primordialisme bagi sesama orang dari suku jawa ternyata turut mewarnai Keunikan Angkringan itu sendiri sebagai sebuah fenomena urban. Orang cenderung mudah mengidentifikasi Angkringan sebagai budaya kuliner jawa. Bukan berarti yang bukan orang jawa sulit beradaptasi disini. Tetapi sebaliknya. Sikap penjaja Angkringan yang melayani, ramah, dan bersahabat membuat banyak orang menjawab lebih suka berlama-lama dan betah dengan suasanannya. Lesehan, ditemani angin malam bersama teman-teman dengan hidangan rumahan menjadi semacam racun adiktif bagi penggila jajanan murah ini. Disini mereka melebur, yang mahasiswa, pengangguran, pegawai negeri, pengamen, anak band hingga anggota-anggota komunitas spesifik, yang penyendiri sampai pasangan yang sedang berkencan hadir untuk menimati hidangan yang ndak seberapa harganya. Sering kali terjadi interaksi spontan diantara mereka. Residunya hanya satu, yaitu Angkringan.
Falsafah Jawa "Tepo Seliro" adalah sebuah falsafah sarat makna dan merupakan nilai adiluhung budaya Jawa. Falsafah ini mengajarkan agar manusia bisa bersikap sensitif satu sama lain, bertenggang rasa dan saling memahami satu sama lain. Itu adalah cermin dari dunia angkringan perkotaan. Menurut kamus besar bahasa perkiraan saya tepo seliro berasal dari kata tepo atau rasa dan seliro yang kira kira sesama jadi lengkapnya rasa sesama senasib sepenanggungan.
Dalam bahasa Jawa istilah tepo seliro arti kontekstualnya, ”kalau tidak suka dicubit, jangan mencubit orang karena orang lain juga tidak suka”. Kecuali kalau si pencubit adalah orang khusus bagi kita yg sudah mendapat ”SK” resmi untuk mencubit. Kalau cubitan fisik mudah dicerna dan dipahami, tidak demikian dg “cubitan” non-fisik. Definisinya mungkin mudah dipaham yaitu “setiap sikap dan/atau kata-kata yg menyinggung perasaan orang lain.” Masalahnya, apa sikap dan kata-kata kita yg dapat menyinggung atau melukai hati orang lain? Setiap orang memiliki kadar sensitivitas tipikal yg berbeda-beda. Kata-kata yg sama bisa menyinggung si A, tapi malah menghibur bagi si B, dst. Ini artinya, diperlukan pemahaman tinggi dalam menghadapi setiap individu. Apa sikap dan/atau kata-kata yg dapat menghibur atau melukai si A, si B, si C, dst.
Kadar kemampuan kita dalam memahami setiap individu tsb akan mempengaruhi pada kadar karisma dan ‘aura’ kita di mata orang lain. Semakin tinggi kadar pemahaman kita pada karakter orang lain, akan semakin banyak teman yg mengelilingi kita. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan kita di bidang ini, akan semakin sedikit “kawan” dan semakin banyak “lawan” dan akhirnya hidup dalam pengasingan.
Falsafah Jawa Tepo Seliro bisa kita sandingkan dengan falsafah Barat Take and Give, walaupun yg pertama terkesan non-fisikal dan yg kedua lebih cenderung berkonotasi material. Poin penting di sini adalah kenapa mesti ada falsafah Tepo Seliro dan Take and Give?
Karena secara insting, kita selalu menuntut untuk Take More, & Give Less pada orang lain. Dalam dunia non-fisikal (baca, perasaan) kita ingin agar orang lain sensitif pada kita, walaupun kita tidak sensitif pada orang lain. Dg kata lain, sebelum mereformasi diri, manusia cenderung bersikap “sensitif internal dan insensitif eksternal.” Dan karena itu, para pujangga di Timur dan Barat memperkenalkan falsafah tepo seliro dan take and give untuk mengingatkan kita bahwa “take more and give less” atau “sensitif internal dan insensitif eksternal” adalah sikap yg kurang baik dan untuk itu perlu ditinjau kembali alias direformasi.

Penutup
Penelitian ini ingin menyimpulkan bahwa fenomerna angkringan ini ternyata berhasil bertahan ditengah geliat urban. Terbukanya akses ekonomi sektor informal menjadi satu alasan ekspansi fenomena ndeso ini dikota. Nilai-nilai tradisionalnya menjadikan angkringan yang dikenal menjadi media jaringan interaksi alternatif bagi kaum urban sendiri.
Istilah ceret telu, lauk seadanya, wedang jahe adalah presentasi dari identitas tradisional jawa yang bertahan dikota. Keberadaannya, menjadikan kota semakin berpelangi.

Sumber Bacaan

1.Gumilar R. Soemantri, dkk.2007.Sosiologi Perkotaan. Jakarta: Universitas Terbuka
2.George Ritzer-Douglas J. Dougman.2003.Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Kencana. Jakarta
3.Rahmat Hidayat, “Dualisme sector informal perkotaan”, hand out perkuliahan, Jakarta: Jurusan Sosiologi FIS UNJ, 2008, hal 1


Sumber Lain

anak-negeri.blogspot.com
alkhafid.blogs.friendster.com
alkhoirot.com
http://id.wikipedia.org


[1] Tugas ini dibuat untuk melengkapi mata kulaih Sosiologi Perkotaan sebagai Ujian Akhir Semester, dan penulis mengucapkan syukur dan bahagia kepada ALLAH S.W.T, kedua orang tua, Mia Westina, dan Bapak Rakhmat selaku pembimbing dan dosen mata kuliah ini
[2] Mahasiswa Jurusan Sosiologi ’05 semester enam, Fakultas Ilmu Sosial, UNJ. Lahir di Purwokerto 3 Mei 1987, Telp. 08567186002
[3] Ramdhany, Rony Firman. Scripta Societa:sekapur sirih. Jakarta, Jurusan Sosiologi FIS UNJ.2007
[4] Tokoh inti Mazhab Chicago.
[5] Mereka kedapatan berjualan di wilayah lokasi penelitian.
[6] Nasi kucing
[7] Rahmat Hidayat, “Dualisme sector informal perkotaan”, hand out perkuliahan, Jakarta: Jurusan Sosiologi FIS UNJ, 2008, hal 1
[8] Idem
[9] Wawancara dengan mas Sarno, tanggal 7 April 2008.
[10] mas Sarno dan mas Aris
[11] Mahasiswa Y.A.I 2005, wawancara tanggal 4 April 2008.

Jumat, 10 Mei 2013


BEDAH DAN TELAAH ILMIAH
“KORUPSI:REPRODUKSI dan TRANSFORMASI.
Studi Kasus Praktik Sosial Korupsi di Ranah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif”
Tesis Karya Johanes Danang Widoyoko

Oleh:
Johan Nurul Imani S.Sos
Ka.Divisi Litbang GEPAK

I.                   Pendahuluan
            Bahwa fenomena korupsi telah menjadi suatu kajian ilimiah menarik. Entah siapa yang pertama memulai dan sejak kapan pastinya gejala sosial (baca:Korupsi) dikaji,dibedah,dikuak dan dilihat dalam kacamata prespekstif ilmiah para akademisi. Kesadaran kalangan atau kelas atau kelompok akademisi ini, yang memiliki konsentrasi dibidangnya masing-masing, nampaknya telah membuktikan satu hal bahwa korupsi dipahami dan sudah menjadi sebuah gejala sosial penting. Cukup penting sehingga para akademisi ini mau mencurahkan kemampuan dan konsentrasinya untuk ikut serta dalam gerakan anti-korupsi di negeri ini sesuai takaran kapabilitas mereka. Para akademisi ini melakukan riset dengan berbagai metode ilmiah penelitian demi sebuah tujuan, membongkar benang kusut gejala sosial korupsi dan mencarikan “jalan keluar” melalui proses ilmiah, khususnya mereka yang dari cabang-cabang ilmu sosial.
            Persoalan KORUPSI bukan cuma milik ranah hukum, tapi juga ranah yang sosial. Setidaknya itu yang perlu digaris-bawahi sekali lagi oleh banyak orang. Penekanan ini disampaikan oleh Johanes Danang Widoyoko melalui karya tesisnya yang berjudulKORUPSI:REPRODUKSI dan TRANSFORMASI. Studi Kasus Praktik Sosial Korupsi di Ranah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Tesis dengan tebal 255 halaman ini menggali, membedah, mengkaji , menguak korupsi sebagai praktik sosial dan mencoba menjawab pertanyaan mengapa praktik korupsi masih ada       meskipun program pemberantasan korupsi sudah dijalankan dan upaya penegakan hukum sudah dilakukan. Tesis ini mengkaji praktik korupsi dari perspektif strukturisasi Giddens dan Habitus Bourdieu dimana korupsi sebagai sebuah  praktik  membentuk struktur sosial yang repetitif sehingga walaupun jelas sudah memiliki ancaman pidana, hukuman yang jelas, korupsi tetap ada.
Tulisan ini memiliki batasan. Pembahasan dilakukan hanya pada Bab II tesis ini dan beberapa sub-bab terkait pemahaman korupsi dari dua ideologi dan satu teori ilmiah. Namun diharapkan tetap komprehensif dan bisa menjadi sajian menarik bagi pembaca.




II.                KORUPSI:Reproduksi dan Transformasi
II.a Seting sosial
Tesis ini dimulai dengan memaparkan dan  mendeskripsikan fenomena korupsi dalam konteks kewilayahan dan sebuah sebuah nama dari seorang peneliti yang untuk pertama kalinya menguak fenomena korupsi secara sosiologis. Benua Asia,khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara ditambah sebuah nama yaitu, Syed Hussein Alatas. Dua variabel inilah yang mengawali dan memulai cerita dongeng berliku nan panjang dari apa yang disebut sebagai praktik korupsi.
Syed Hussein Alatas adalah nama yang disebut oleh Danang dalam tesisnya sebagai tokoh post-kolonial yang untuk pertama kalinya secara sosiologi berani menyatakan bahwa korupsi adalah suatu persoalan pelik masalah  sosial yang dihadapi oleh semua manusia yang hidup di era 50-an dan 60-an. Dan Danang menyebut fenomena ini sudah terjadi di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Tentunya karena Indonesia masuk kedalam wilayah Asia Tenggara, maka selanjutnya pemaparan ini akan mambahas Indonesia saja sebagai fokus utama.
Sayangnya, tidak ada yang menganggap serius, atau memahami dengan jelas sepeti apa yang dipahami Alatas tentang korupsi pada saat itu. Mengapa? Pertama, karena persoalan korupsi bukan suatu yang “something mainstream” dan populer kala itu. Bahkan kajian korupsi dari perspektif kaum fungsionalisme terutama Robert Merton menyebut bahwa korupsi “memberi” pelayanan dan tidak merugikan. Ditempat lain, Samuel Huntington adalah orang yang menyebut korupsi sebagai “the grease of wheel” atau pelicin pada roda agar roda lebih cepat berputar. Huntington menitikberatkan gagasan dukungannya pada bagaimana korupsi itu memberikan solusi dari sistem birokrasi yang tidak efisien. Dua gagasan prasangka baik terhadap korupsi pada masa ini ternyata juga dipengaruhi oleh dominasi pemikiran Eropa dan AS. Kedua, momen krisis ekonomi yang melanda Asia Timur dan Asia Tenggara adalah awal tersadarnya berbagai pihak bawah korupsi adalah persoalan. Korsel, Thailand, dan Indonesia yang pada saat itu dipuja-puja oleh Bank Dunia sebagai salah satu contoh negara yang berhasil  dalam gemilang pembangunan justru mengalami dampak hebat krisis ekonomi.
Danang menyebut dalam tesisnya bahwa sebenar-benarnya momen kemunculan korupsi dalam konteks asia adalah pada masa perang berkecamuk. Danang berpegang teguh pada pernyataan dari penelitian Alatas yang menyebut bahwa korupsi konteks Asia dimulai pada masa perang dimana kala itu manusia hidup ditengah hukum perang sebagai aturan yang berlaku. Dalam kondisi ini, segala hal yang dilakukan untuk tujuan bertahan dan menang perang ditoleransi. Apapun itu, termasuk Korupsi. Sementara perang membutuhkan biaya. Untuk ongkos melawan Belanda, tentara dan rakyat Indonesia melakukan penyelundupan ekspor hasil bumi ke negara lain. Hasilnya digunakan untuk membeli senjata.
Danang menjelaskan bahwa pemikiran Alatas baru benar—benar menarik perhatian banyak kalangan dan mulai menempati posisi penting dalam diskursus kajian korupsi setelah krisis finansial tahun 1997. Pemikirannya bangkit kembali di tahun 2000-an  setelah ada upaya menerbitkan kembali buku-buku karya beliau dan lahirnya kesadaran kolektif bahwa korupsi adalah isu serius.

II.b Bedah&Strategi Pemberantasan Korupsi dari Multi-Perspektif Idelologi dan Teori
Peta pemikiran yang digunakan Danang dalam tesisnya sangat luas. Danang memberi pandangannya yang luas tentang korupsi dengan melakukan pendekatan secara ideologis dan teoritis. Secara ideologis, Danang menjelaskan pendekatan noe-liberal dan neo-institusionalis. Secara teoritis, Danang mengupasnya dari perspektif Marxis-Struktural.
Pendekatan pemberantasan neo-liberal tertuang dalam konsepsi good governance. Konsep ini mengatakan bahwa mekanisme pasar yang ilmiah dengan sedikit campur tangan negara akan menciptakan situasi persaingan atau kompetisi alamiah.  Menurut pandangan liberal,kompetisi alamiah dalam pasar menolak praktik korupsi yang hanya akan menciptakan kondisi pasar yang tidak sehat dan in-efisien. Salah satu ciri pendekatan dari perspektif ini adalah upaya menekan campur tangan negara dengan cara privatisasi dan liberalisasi. Cara selanjutnya adalah dengan meningkatkan gaji pegawai pemerintah di sektor publik dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pegawai dan menekan demand/kesempatan untuk korupsi. Kenaikan  gaji diimbangin dengan reformasi birokrasi. Strategi lain dari pemikiran ini adalah dibentuknya lembaga independen ati-korupsi dan penguatan konsep dan posisi civil society melalui peran NGO sebagai watch dog. Pada pembahasannya mengenai strategi pemberantasan korupsi dari perspektif noe-liberal di bab II tesisnya ini, Danang juga membahas tentang konsep Principal-agent dan rumus korupsi yang terkenal dari Robert Klitgaard yaitu  C = M + D – A (Corruption=Monopoly+Discretion-Accountibility).
Berikutnya adalah pendekatan  neo-institusionalis. Pendekatan ini merupakan penyeimbang, yang memiliki pandangan berbeda dengan pendekatan neo-liberalis tentang peran negara. Pendekatan neo-institusionalis justru memandang pentingnya peran dan keterlibatan negara dalam pasar. Pendekatan neo-institusionalis meyakini bahwa pada realitasnya pasar tidak berjalan se-harmonis seperti dongeng dari neo-liberal. Ternyata pasar bergerak ditengah realitas bahwa info pasar tidak tersebar merata, ada pihak-pihak yang memiliki informasi lebih dari pelaku pasar lain. Realitas ini membuat pasar tidak bergerak sempurna dan  menciptakan kompetisi yang tidak sehat. Ada perusahaan yang berkembang dan cenderung tumbuh menjadi konglomerasi, namun disaat bersamaan ada perusahan yang susah payah hanya untuk bertahan dan cenderung tidak berkembang.
Pendekatan ini sekaligus memberi kritik pedas gagasan neo-liberalis soal peran negara yang dibatasi agar pasar memiliki kesempatan menciptakan persaingan/kompetisi alamiah melalui privatisasi dan liberalisasi serta bagaimana keyakinan pendekatan neo-liberal tentang praktik korupsi itu sendiri. Menurut neo-institusionalis, privatisasi pasar justru memicu praktik korupsi dan menjadi sumber masalah baru. Kehadiran pemerintah dan lembaga peradilan (sesuai yang dimaksud perspektif ini) diperlukan perannnya untuk memastikan hukum dan semua proses berjalan sesuai aturan main. Institusi juga ini dibutuhkan untuk memastikan sanksi kepada pemain yang melanggar aturan. Oleh neo-institusinalis, negara dihadirkan kembali untuk turut menekan praktik-praktik  korupsi yang membuat situasi negatif dan in-efisiensi pasar.
Narasi bab II tesis Danang Widoyoko memiliki alur yang unik. Dalam menjelaskan praktik korupsi dari perspektif dua ideologi, di akhir upaya ini Danang justru membenturkannya dengan mengkritik kedua gagasan tersebut dengan perspektif Marxis-Struktural. Danang sepertinya menyadari bahwa dua perspektif sebelumnya memiliki sisi lemah. Jika neo-Institusionalis melengkapi kekosongan neo-Liberalis, maka kehadiran  Marxis-Struktural adalah “pelipur lara” keduanya. Jika dua kakak-adik “neo” tadi positioning-nya adalah mekanisme pasar, penuh dengan bahasa ekonomi, pandangan marxis disini melengkapinya dengan mengisis sisi sosial politik.
Korupsi dalam padangan marxis-struktural dilihat sebagai bentuk eksploitasi dan dominasi terhadap kelas bawah. Sistem oligarki kelas yang korup adalah gambaran jelas maksud dari eksploitasi dan dominasi kelas bawah ini. Praktik korupsi dari oligarki adalah upaya kelas dominator untuk mempertahankan dominasinya dalam sistem yang berlaku ditengah sistem politik dan ekonomi yang berlaku. Danang menyebut upaya kekerasan&pelanggaran HAM jaman orba sebagai salah satu contoh kasus bagaimana oligarki yang korup kepemimpinan Soeharto sedang mempertahankan dominasinya. Kini, menurut Danang, oligarki justru belajar dari kenangan masa lalu kemudian  “berjalan” beriringan dengan sistem demokratis dan HAM. Disini. Danang sepertinya ingin menyampaikan bahwa politik oligarki adalah sebuah tatanan yang merusak dan korup. Selanjutnya, analisa Danang mengenai strategi yang tepta untuk melawan korupsi dari perspektif ini adalah mobilisasi dukungan melalui gerakan sosial anti-korupsi.
Berikut matriks perbandingan tiap perspektif:

Neo-Liberal
Neo-Institusional
Marxis-Struktural
Asumsi
*Mekanisme pasar
*Kompetisi alamiah
*Persaingan pasar
*Kurangi campur tangan negara
*Privatisasi&Liberalisasi
*Perlunya peran/campur Negara
*Privatisasi menciptakan konglomerasi

*dominasi kelas lewat sistem oligarkis
*oligarki adalah aktualisasi kelas dominan dalam sistem sosial politik
Level Analisa
Makro-Mikro
Makro
Makro
Kebijakan
* Reformasi Birokrasi
*Menekan korupsi dengan kenaikan gaji pegawai sector public
*Bentuk lembaga independen anti korupsi
*Penguatan NGO/Civil Society
*Penguatan institusi untuk kepastian hokum dan aturan main pasar untuk menekan praktik korupsi
*Negara menjadi “wasit”
*Mobilisasi dukungan gerakan social
Kritik
*Monopoli sumber-sumber ekonomi
*Survival The Fittest
Penguatan memiliki “efek samping, yaitu menciptakan kaum elite
Ternyata juga dianggap memiliki kekurangan dalam menjelaskan gejala korupsi dalam skala mikro