Indonesia Kita vs Korupsi
Oleh:
Johan Nurul Imani S.Sos
Tercatat sebanyak 228
kasus korupsi sudah diungkap dan diusut
oleh KPK. 228 diantaranya sudah inkracht. Jumlah ini belum ditambah dengan kasus-kasus
yang sedang atau sudah ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Sedangkan kasus-kasus korupsi yang melibatkan kepala
daerah Menurut data Kemendagri, sampai akhir tahun Juni 2013, terdapat 21
Gubernur, 7 Wakil Gubernur, 156 Bupati, 46 Wakil Bupati, 41 Walikota, 20 Wakil
Walikota yg tersangkut kasus hukum, sebagian besar perkara korupsi.[1]
Juga
sesuai dengan laporan resmi di konferensi pers KPK siang ini, ada banyak hal
yang bisa dikomentari terkait kasus korupsi dan penanganannya. Data KPK
menyebut bahwa KPK menggunakan Rp. 357,6 M dari APBN yang dianggarkan sebesar Rp.
703,8 M. Dengan dana operasi sebanyak itu, KPK berhasil mengembalikan
penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari TPK dan gtatifikasi sebesar Rp 1,196Triliun.
Ini suatu pencapaian yang baik dan patut diapresiasi dimana penyerapan anggaran hanya setengah dari total APBN yang dianggarkan untuk KPK namun berhasil mengembalikan penerimaan negara yang jumlahnya hampir 4 kali lipat dari anggaran KPK yang terserap . KPK mencatat sudah 76 penyidikan, 102 penyidikan, 66 penuntutan dengan 2 kasus
besar terakhir yaitu Penangkapan ketua MK Akil Mochtar dan penangkapan Gubernur
perempuan pertama , Ratu Atut Chosiyah.
Kasus
yang KPK ungkap di penghujung tahun 2013 ini menangkat sebuah tema berbeda dari
kasus-kasus yang sebelumnya. Jika trend kasus korupsi sebelumnya banyak
melibatkan politisi, pengusaha, pejabat negara, pemimpin partai, menteri dan
artis, kini dongeng pemberantasan korupsi memasuki sebuah tema baru akhir
tahun, yaitu korupsi di lingkaran Politik Dinasti dengan konteks pilkada. Lingkaran
korupsi dalam pilkada yang diusut KPK ini berpusat pada kekuatan politik
dinasti keluarga di provinsi Banten. Penangkapan Akil Mochtar dan Ratu Atut
Chosiyah adalah bentuk pengembangan dari kasus penangkapan adik Atut, yaitu
Tubagus Chaery Wardan dalam upayanya menyuap ketua MK Akil Mochtar.
Melalui
pengungkapan suap Ketua MK ini oleh Tubagus Chaery Wardana alias Wawan, terbukalah
fakta-fakta penting terkait bagaimana virus dan praktik kotor korupsi sudah menguasasi
Mahkamah Konstitusi. Akil sebagai pimpinan MK, disinyalir menerima uang kotor
dari pihak yang bersengketa atau berpekara di pilkada. Bagi akil, “kalah atau
menang” di Pilkada adalah duit. Menurut Direktur Pukat UGM, Oce Madril, ada dua
modus yang dijalankan Akil. Pertama dengan menjual putusan, dan kedua
memanfaatkan kegalauan pihak-pihak yang bersengketa dengan manarik imbalan,
dengan begitu Akil akan menoreh keuntungan[2].
Ini diluar akal sehat dan pukulan telak bagi dunia hukum kita, bahwa hukum bisa
dengan mudahnya dibeli. Lantas, kepada siapa kita berpaling jika ketua MK saja
korup?.
Tidak
luput juga dari pengamatan bahwa dipenghujung tahun 2013 ini, ada angin segar
bagi dunia pemberantasan korupsi dimana
banyak terpidana koruptor dihukum dengan hukuman penjara yang cukup lama. Kita
mencatat, majelis hakim pengadilan DKI jakarta memperberat hukuman Djoko Susilo
dengan 18 tahun penjara, jauh lebih berat dari putusan di pengadilan tingkat
pertama, 10 tahun. Djoko susilo dinyatakan terbukti melakukan korupsi , dihukum
penjara, harus mengembalikan kerugian negara sebesar 32 Milyar dan tidak hak politiknya dicabut. Selain hukum penjara, sita
harta, Djoko Susilo dihukum dihilangkan hak dipilih dan memilihnya sebagai
pejabat publik. Luar biasa. Kita juga mengingat vonis hukuman penjara terpidana
Angelina Sondakh yang diperberat menjadi 12 tahun dimana sebelumnya angie divonis
bersalah memainkan anggaran dan dihukum “hanya” 4 tahun. Ancaman kepada
tersangka Ratus Atut atas korupsi alkes dan suap ketua MK juga tersebut 18
tahun penjara. Juga tidak kita lupa berbagai terpidana kasus-kasus korupsi
besar yang saat ini masih menjalani hukumannya. Ketiga kasus korupsi dan
putusan hukumannya diatas memberi satu gejala perubahan atau trend baru dimana koruptor
kini tidak akan punya kesempatan lagi untuk tersenyum dan melambaikan tangannya
lagi bak selebritis pasca putusannya dibcakan, karena ia tidak akan sempat
melakukan itu akibat putusan sidang yang memenarakannya dalam waktu lama.
Di level grassroot, lapisan sosial ini memiliki
bergandengan dengan berbagai kekuatan kelompok dari para penggiat anti korupsi
dari berbagai level dan kalangan. Mereka menjadi mesin bagi gerakan perlawanan
dan pemberantasan praktik korupsi di daerah. Walaupun sifatnya lokal, namun seringkali
kontribusi mereka justru mampu merubah peta pembarantasan korupsi hingga ke
level nasional. Tidak jarang hasil penelusuran, temuan, dan laporan mereka
menjadi pintu awal sebuah pengungkapan kasus-kasus besar di daerah. Trend ini
juga menguat di penghujung 2013. Hanya saja tidak banyak disorot. Diantaranya
yang bisa diangkat dari gambara bagaimana daerah memiliki corak gerakannya yang
khas adalah peran tokoh-tokoh penggiat anti korupsi yang menjadi “whistle blowerÔ atau justice collaborator dalam mengungkap
kasus-kasus penyimpangan oleh pusat-pusat kekuasaan di daerah. Kita ambil tiga
contoh, yaitu mantan terpidana yang juga bekas anggota DPR F-PDIP Agus Condro,
Muchasonah yang seorang guru Mts di Jombang, dan terakhir Erwinus Laia yang
seorang pegiat anti-korupsi dari kepulauan Nias.
Cerita
sepak terjang Agus condro dan dua nama lainnya memiliki kesamaan, yaitu jengah
terhadap sistem busuk yang ada dan sama-sama mengingingkan perbaikan sistem
hingga bersih dari korupsi. Dan mereka memulai usahanya dengan membongkar satu
demi satu permasalahan korupsi sesuai bidang yang menjadi perhatian mereka.
Agus Condro
adalah anggota fraksi PDIP DPR yang dipidana penjara karena menerima cek/suap
dalam proses pemilihan gubernur BI. Agus Condro menempuh babak baru ketika
dinamika politik ditengah penyelesaian kasusnya tidak mengutungkan dirinya.
Akhirnya, ia balik melawan. Dengan memilih jalan sebagai justice collaborator dan mulai membongkar siapa-siapa saja yang ada
dibalik dan menerima cek pelawat pemilihan gubernur BI saat itu. Hasilnya luar
biasa, pengakuannya menyeret 29 anggota DPR, Nunun Nurbaeti istri mantan
Wakapolri Adang Daradjatun, dan menjatuhkan vonis 3 tahun penjara kepada
Miranda Goeltom karena terbukti melakukan korupsi sesuai pasal 11 UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kini,
Agus Condro menjadi corong utama gerakan sipil memerangi praktik korupsi di
daerahnya kini tinggal dan mengahabiskan masa tuanya selepas menjalani hukuman
penjara, yaitu di desa Pasekaran, Batang-jawa tengah. Rumahnya adalah pusat
aktivis-aktivis anti korupsi daerah berkumpul, berdiskusi dan mengatur
rencara-rencana strategis. Kini ia menjadi narasumber seminar-seminar yang
digelar di daerah terkait gerakan penyadaran akibat korupsi. Ia juga menjadi
motivator bagi gerakan antikorupsi, himpunan mahasiswa, hingga perguruan
tinggi. Sekarang, ia adalah seorang provokator bagi anak muda agar sadar dan
ikut melawan praktik korupsi. Sepak terjanganya di daerah cukup signifikan.
Pada tahun 2005 lalu, Agus Condro berhasil menyeret mantan Bupati Batang,
Bambang Bintoro atas kasus korupsi APBD 2004 dimana anggaran eksekutif sebesar
Rp 796 juta itu digunakan untuk mendanai premi asuransi 45 anggota DPRD. Selain itu, Agus Condro beserta
barisan akitivis anti korupsi yang ia bentuk GERTAK (Gerakan Tangkap Koruptor)
juga berhasil menjebloskan sejumlah kepala dinas di Batang atas korupsi APBD kendal
pada 2003 sehingga mantan Bupati Handy Boedoro dipenjara lima tahun pada 2007
lalu.
Masih di
pulau jawa, tepatnya di Jombang, ada tokoh bernama Muchasonah. Beliau seorang
guru di Mts negeri Jombang. Guru yang satu ini dikenal memiliki sikap tegas dan
integritas yang tinggi di lingkungan sekolah tempat ia mengajar. Namanya mulai
dikenal saat Muchasonah berhasil membongkar penggelembungan gaji cpns di kantor
Departemen Agama Jombang pada 2005 lalu. Namun di 2003, Muchasonah sudah
membuat geger banyak pihak di sekolah tempatnya mengajar dengan membongkar
dugaan penyalahgunaan aset Mts di kecamatan Jombang. Sekolah yang semula
dikelola yayasan, diubah statusnya menjadi Mts negeri. Namun realitas berkata
lain, Mts Negeri itu ternyata masih dikelola yayasan merkipun berganti status
milik negara. Disini Muchasonah melihat potensi penyalahgunaan dana madrasah. Berbagai
indikasi mulai menambah kejengkelan pengelolaan madrasah ketika ada pebaikan
lima kelas dan pemalsuan tandatangannya sebagai kepala tata usah madrasah
uuntuk perintah membayar oleh pengurus yayasan. Ia melapor ke polisi. Alhasil,
Muchasonah mulai menjadi “public enemy”.
Keputusannya menjadi whistle blower,
disadarinya tidak selalu berakibat baik kepadanya. Salah satunya ada mutasi
dirinya dari kepala tata usaha menjadi seorang staf tata usaha di kantor urusan
agama Jogoroto. Muchasonah melawan. Gugatannya menang di PTUN. Kiprahnya tidak
biasa bagi seorang pegawai negeri, ia kritis dan getol melaporkan
ketidakberesan disekitarnya. Strateginya apik, dalam membongkar kasus yang ia
soroti, Muchasonah melaporkan kasus-kasus itu ke berbagai lembaga sekaligus,
mulai dari kepolisian resor Jombang, ICW, KPK hingga Ombusdman. “biar penegak
hukum berkompetisi” ujarnya.
Dari
kepulauan Nias, ada sosok dengan nama Erwinus Laia. Di Nias, ia juga single fighter sekaligus whistle blower. Debutnya dimulai dengan
melaporkan sorang petinggi PN Nias atas dugaan menerima gratifikasi atas
perkara sengketa tanah. Disamping itu, Erwin juga terus memantau lusinan
laporannya yang lain. Adapun dua kasus besar yang ia ungkap terkahir adalah
dugaan penyalahgunaan dana bantuan bencara Nias selatan pada 2011 yang diduga
merugikan negara sebesar Rp 5 Miliar dan penggelembungan anggaran pengadaan
tanah untuk lahan benih induk pada 2012 lalu. Pilihannya sebagai peniup peluit menuai ancaman dan teror.
Pernah sekali ia mendapati kesaksian preman yang di-order untuk menghabisi nyawanya. Keyakinannya atas pengelolaan
pemmerintah yang baik adalah satu-satunya motivasi dari sepak terjangnya sampai saat
ini.
Itulah
gambaran perjuangan melawan korupsi didaerah. Gerakan yang dipimpin oleh
orang yang bukan siapa-siapa. Muchasonah dan Erwin adalah putra-putri daerah yang
hanya menginginkan daerahnya bebas korupsi dan memilih jalan terjal agar keingingannya
tercapai. Dengan segala resikonya, mereka terus menerjang. Dipenghujung 2013
ini, kita semua berharap gerakan perlawanan, penyadaran, pendampingan anti
korupsi semakin tumbuh dan kembang di berbagai level, tingkat, lapisan
masyarakat dan pemerintahan. Agar apa yang pernah disebut wakil piminan KPK
Bambang Widjojanto sebagai “Island of
Honesty” benar-benar terwujud. Demi Indonesia yang merdeka, sejahtera dan
bebas Korupsi.