Senin, 20 Mei 2013



Hangatnya Wedang susu Jahe Angkringan:
Semangat Nilai Tradisionalisme ditengah-tengah Pusaran Geliat Urban[1]
Studi kasus: ANGKRINGAN
Johan Nurul Imani[2]
4825056979
Sosiologi Pembangunan ’05 NR
Yuk jegang mas, Nyruput Wedang…

ABSTRAK
Banyak hal jika kita bayangkan dalam bicara kota. Agar tidak terlalu serius, bicarakanlah sambil duduk-duduk diteras ditemani kolega dengan secangkir teh manis hangat. Kota, bukan saja mengenai sesuatu benda-benda atau hal-hal yang modern an sich. Apa saja yang menopang kota dengan urbanisasinya agar tetap segar berjalan? Kota banyak diisi oleh berbagai fenomena. Angkringan adalah satu dari sekian banyak fenomena urban. Keberadaannya tak ubahnya PKL disiang hari. Hanya saja, bedanya mereka beraksi dari senja hingga larut malam. Tapi, bukan asal waktu berjualan saja yang membuatnya berbeda dari PKL-PKL kota lainnya. Budaya, Jajanan, Suasana, Nilai-nilai tradisionalnya membuat Angkringan sungguh menjadikan malam dikota berbeda drastis dari kejenuhan pada sehari-harinya. Dan dalam pergulatannya ditengah deras arus urban, angkringan mampu bertahan bahkan exist.

LATAR BELAKANG

Angkringan, sega kucing untuk masyarakat Jogja, atau nasi kucing istilah lainnya adalah sebuah fenomena urban yang ternyata telah menjadi warna yang menambah corak hidup perkotaan. Untuk membahas fenomena gejala sosial urban yang satu ini, bisa kita lihat dari multi-perspektif. Sehingga fenomena ini menarik untuk dikaji.
Perubahan sosial adalah keniscayaan[3]. Angkringan dan penggila jajanannya adalah elemen kecil dari perubahan sosial itu sendiri. Angkringan dapat dilihat sebagai pertumbuhan ekonomi lokal, bagian dari social change.
Untuk menyelami lebih dalam atas kajian ini. Kita bisa mencoba untuk memahami gejala urban-Angkringan-ini dengan membahas aspek sosial-ekonominya dengan perspektif yang sosiologis seperti bagaimana R. Park[4]  menyebut ekologi manusia. Gagasan yang intinya menjelaskan bagaimana konsep tata-ruang atau lingkungan yang melibatkan proses penyesuaian diri organisme dengan suatu pola akhir yaitu keseimbangan (equilibrium). Dimana kaitan Angkringan dengan gagasan R.Park? Angkringan dengan karakteristik jenis pekerjaan yang mudah dimasuki, bersumber pada sumber daya lokal, usaha milik sendiri dan beroperasi dalam skala kecil adalah satu ekonomi sektor informal yang mendampingi ekonomi sektor formal di perkotaan. Keberadaan keduanya ternyata mampu memberi penghidupan bagi mereka yang kita sebut sebagai kaum yang berjuang untuk terus berusaha meneruskan hidupnya di kota, yaitu kaum urban. Disinilah titik keseimbangan itu muncul.
Perspektif lain yang bisa digunakan untuk memahami kajian ini adalah gagasan kota sebagai arena konsumsi oleh Manuel Castell dari Spanyol. Gagasannya, adalah kenyataan bahwa penduduk kota adalah kumpulan konsumen. Dikota, mereka membutuhkan pangan, sandang, dan papan yang digunakan untuk mengembalikan kemampuan kerja mereka, setelahnya mereka kembali berkerja kemudian mengkonsumsi lagi. Dan mengacu pada castell, fenomena Angkringan ini pada dasarnya dapat kita pahami sebagai konstruksi lain sebagai arena “alternatif” interaksi-konsumsi kaum urban yang terjebak dalam rutinitas-rutinitas melelahkan perkotaan.

PROFIL HISTORIS

Angkringan (berasal dari bahasa Jawa ' Angkring ' yang artinya duduk santai) adalah sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung hik. Penampilannya cukup sederhana, gerobag angkringan umumnya ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar 6 hingga 8 orang pembeli. Mereka beroperasi mulai sore hari.
Makanan yang dijual meliputi nasi kucing, sate usus , sate telor puyuh, gorengan tempe-tahu dan lain-lain. Minuman yang ditawarkanpun beraneka macam seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe dan susu. Kesemuanya dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Range harganya berkisar mulai dari Rp.500 hingga Rp.3000
Meski harganya murah, namun konsumen warung ini sangat bervariasi. Mulai dari tukang becak, tukang bangunan, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pegawai kantoran. Suasana penuh kekeluargaan antar pembeli dan penjual yang terlihat mengobrol dengan santai menjadi pemandangan umum.
Angkringan juga terkenal sebagai tempat yang egaliter. bervariasinya pembeli yang datang tanpa membeda-bedakan latar belakang, strata sosial atau SARA menjelaskan hal tersebut. Mereka yang berbeda warna tersebut tampak khusyuk menikmati makanan sambil bebas ngobrol hingga larut malam - meskipun tak saling kenal - tentang berbagai hal atau kadang berdiskusi tentang topik-topik yang serius. Harganya yang murah dan tempatnya yang santai membuat angkringan sangat populer di tengah kota sebagai tempat persinggahan untuk mengusir lapar atau sekedar melepas lelah.

PEMBAHASAN OBJEK KAJIAN
Letaknya mudah dikenali, percis dipinggir jl. Pondok Kelapa Raya. Hampir setiap malam, gerobag angkringan yang dibawa oleh mas Sarno dan mas Aris[5] ini melayani para pelanggan setianya. Seperti yang dikatakan oleh mas Aris.

Iya mas, kita biasa mulai dari magrib,pulangnya malem,rata-rata jam 12 kita udah beres-beres”

Jam terbang pedagang Angkringan mulai sore atau magrib hingga larut malam memang lazim diketahui. Waktu operasional mereka juga bisa kita katakan men-general kepada semua pedagang angkringan. Alasan kenapa mereka memilih waktu yang cenderung malam untuk beroperasional/berdagang tidak spesifik. Tapi hal tersebut bisa kita anggap sebagai satu dari ciri khas pedagang Angkringan. Mungkin memang karena para pendahulunya sedari awal sudah berjualan dari sore hingga larut malamlah yang menjadi motif mereka. Sehingga waktu operasional itu tetap dijaga dan tidak berubah sampai saat ini. Maka strategi mereka berjualan bukan semata kita pandang sebagai satu bentuk mekanisme kerja mereka, bukan sebagaimana bentuk-bentuk usaha ekonomi modern yang mekanistis saat ini, melainkan strategi yang penulis sebut sebagai strategi yang berbasis pada nilai luhur dan budaya. Saat ditanya untuk memastikan hal tersebut, mas Sarno hanya menjawab singkat dengan logat jawa.

Nggeh mas, sudah dari dulu itu

Mungkin kita bisa sesaat membayangkan sega kucing[6], nasinya sedikit lauknya sederhana, hanya potongan ikan dengan sambal. Dibungkus dengan daun atau kertas koran mengkrucut keatas. Harga satuannya hanya Rp 1500. Kalau dimakan, habis dalam 4-5 sendok makan. Porsinya memang sedikit. Lantas apa yang membuat Angkringan ini menjamur dan begitu populer bagi orang-orang?.
Tepat kita sebut mereka-pedagang Angkringan-sebagai bentuk lain dari usaha-usaha informal. Satu  sektor usaha yang bertolak belakang dengan sisi sektor usaha yang lain(Formal). Sektor formal bisa kita pahami dalam pengertian pekerja bergaji dengan pekerjaan yang permanen, Industri, kantor-kantor pemerintah, bahkan perusahaan dengan karakteristik[7] sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang saling terkait, punya struktur, dan terorganisir
2. Resmi terdaftar dalam statistic perekonomian
3. Punya badan Hukum
Maka, sektor-sektor diluar kriteria tersebut layak kita sebut sektor-sektor informal. Sektor informal adalah sektor yang jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir, sulit didata karena itu mereka sering dilupakan sensus resmi, apalagi sektor ini juga jarang dijangkau oleh hukum[8]. Namun tidak tepat sepenuhnya jika Angkringan itu adalah satu bentuk usaha sektor informal yang tidak terorganisir. Mereka juga punya prinsip-prinsip fundamental dalam berjualan. Selain waktu operasional , Pedagang Angkringan dijalan Pondok Kelapa Raya ini ternyata tidak sendirian. Mereka berkerja/berdagang secara berkelompok. Tersebar disekitar wilayah Jakarta timur hingga Pelosok jalan raya di wilayah Jakarta Pusat. Setidaknya masih ada 14 gerobag lain yang memiliki lokasi mangkalnya masing-masing.
Kita ada 15 mas, di Cempaka putih, Kampus Darma Persada,terus tikungan pertigaan Raden Inten itu juga masih sama mas, juga Pondok bambu”[9].
Setiap gerobag dioperasikan oleh dua orang dengan jadwal dagang tiap hari dalam satu minggu. seperti halnya pegawai negeri berkerja yang memiliki waktu libur di hari sabtu, para pedagang Angkringan juga memiliki jatah yang sama. Mereka diperbolehkan libur berjualan pada hari minggu, entah minggu pertama atau kedua yang jelas polanya dalam satu bulan mereka mendapat jatah dua kali libur di hari minggu.

Saya libur minggu mas, tapi ndak tiap minggu mas! minggu ini jualan, besoknya ya libur, nah minggunya lagi kita jualan

Bagaimana mobilitas mereka sehari-hari juga tampak teratur dan terencana. Titik setiap lokasi mereka beroperasi ditunjang dengan lokasi rumah kontrakan masing-masing. Rumah kontrakan ini berfungsi sebagai tempat mereka tinggal sementara, istirahat, dan bersiap untuk beroperasi kembali di malam harinya. Adanya lauk-pauk bukan lagi menjadi tugas yang berjualan saat itu. Ada pembagian kerja disini. Lauk-pauk yang diperjual belikan ternyata memiliki penyuplai sendiri. Masih dari bagian kelompok ini terntunya.

Lauk yang bikin bukan kita mas, saya ya jualan tok, yang buat ada sendiri. di drop sorenya”

Saat ditanya soal siapa yang menjadi bos diantara mereka[10], ternyata bukan keduanya. Masing masing wilayah punya juragannya masing-masing. Juragan ini berfungsi semacam supervisor atau koordinator tiap wilayah.

Ada mas Roso”

Dialah juragan mereka. Mas Roso sendiri masih satu kampung dengan istri dari mas Aris yang masih terhitung family di Solo. Hanya saja, saat wawancara mas Roso tidak berhasil diinvestigasi karena kebetulan saat itu mas Roso sedang beroperasi di depan kampus Darma Persada.
Para pedagang angkringan bukan hanya sebagai penjaja, tetapi juga teman ngobrol bagi pembeli. Minimal, mereka menjadi pendengar yang baik. Hubungan pembeli dan penjaja ini, lebih dari hubungan transaksi ekonomi, tetapi hubungan pertemanan. Bahkan pedagang Angkringan hafal di luar kepala jadwal mampir beberapa pelanggan setianya juga menu-menu favoritnya. Di angkringan orang boleh makan sambil tiduran, sambil mengangkat kaki, teriak, atau mengeluarkan sumpah-serapah. Tetapi tak jarang, angkringan jadi ajang diskusi.
Angkringan bukan lagi sebagai tempat makan melainkan tempat nongkrong, tempat berbagi, sumber inspirasi, bahkan bisa juga sebagai tempat refreshing. Angkringan adalah ruang bersama, ruang alternatif interaksi kota, yang merangkai banyak komunitas dari berbagai latar belakang. ANGKRINGAN, yang terkesan pinggiran, telah menjadi penanda kehidupan malam urban. Yang jelas, angkringan mudah dikenali karena tetap dengan ciri khasnya, yaitu gerobak kayu, makanan-minuman rumahan yang murah, dan tiga buah ceret.
Dalam konteks Angkringan, tidak ada larangan formal!. Kita hanya perlu menjaga budaya angkringan, yaitu tepo sliro (toleransi), kemauan untuk berbagi dan biso rumongso (menjaga perasaan orang lain). Tidak ada larangan untuk merokok, atau pemisahan bagi perokok pasif dan aktif oleh smoking area. Aturan dilarang merokok yang diterapkan di restoran-restoran modern tidak berlaku di Angkringan. Tidak ada wilayah pemisah bagi yang berperilaku merokok. Tidak ada pemandangan petugas security mal menegur pengunjungnya yang melanggar aturan merokok disini. Bahkan malah petugas security itu yang malam nanti mampir jegang di Angkringan dengan leluasa terlihat menikmati kepuasan merokok tanpa dihardik pelanggan yang lain. Nilai-nilai luhur kedaerahan itu sungguh merata dirasakan oleh pelanggan yang konon majemuk latar belakangnya.



Gw biasa ikut-ikutan ngomong jawa kalo lagi beli

Tukas Nana[11] yang punya darah sunda asli ini. Nilai-nilai primordialisme bagi sesama orang dari suku jawa ternyata turut mewarnai Keunikan Angkringan itu sendiri sebagai sebuah fenomena urban. Orang cenderung mudah mengidentifikasi Angkringan sebagai budaya kuliner jawa. Bukan berarti yang bukan orang jawa sulit beradaptasi disini. Tetapi sebaliknya. Sikap penjaja Angkringan yang melayani, ramah, dan bersahabat membuat banyak orang menjawab lebih suka berlama-lama dan betah dengan suasanannya. Lesehan, ditemani angin malam bersama teman-teman dengan hidangan rumahan menjadi semacam racun adiktif bagi penggila jajanan murah ini. Disini mereka melebur, yang mahasiswa, pengangguran, pegawai negeri, pengamen, anak band hingga anggota-anggota komunitas spesifik, yang penyendiri sampai pasangan yang sedang berkencan hadir untuk menimati hidangan yang ndak seberapa harganya. Sering kali terjadi interaksi spontan diantara mereka. Residunya hanya satu, yaitu Angkringan.
Falsafah Jawa "Tepo Seliro" adalah sebuah falsafah sarat makna dan merupakan nilai adiluhung budaya Jawa. Falsafah ini mengajarkan agar manusia bisa bersikap sensitif satu sama lain, bertenggang rasa dan saling memahami satu sama lain. Itu adalah cermin dari dunia angkringan perkotaan. Menurut kamus besar bahasa perkiraan saya tepo seliro berasal dari kata tepo atau rasa dan seliro yang kira kira sesama jadi lengkapnya rasa sesama senasib sepenanggungan.
Dalam bahasa Jawa istilah tepo seliro arti kontekstualnya, ”kalau tidak suka dicubit, jangan mencubit orang karena orang lain juga tidak suka”. Kecuali kalau si pencubit adalah orang khusus bagi kita yg sudah mendapat ”SK” resmi untuk mencubit. Kalau cubitan fisik mudah dicerna dan dipahami, tidak demikian dg “cubitan” non-fisik. Definisinya mungkin mudah dipaham yaitu “setiap sikap dan/atau kata-kata yg menyinggung perasaan orang lain.” Masalahnya, apa sikap dan kata-kata kita yg dapat menyinggung atau melukai hati orang lain? Setiap orang memiliki kadar sensitivitas tipikal yg berbeda-beda. Kata-kata yg sama bisa menyinggung si A, tapi malah menghibur bagi si B, dst. Ini artinya, diperlukan pemahaman tinggi dalam menghadapi setiap individu. Apa sikap dan/atau kata-kata yg dapat menghibur atau melukai si A, si B, si C, dst.
Kadar kemampuan kita dalam memahami setiap individu tsb akan mempengaruhi pada kadar karisma dan ‘aura’ kita di mata orang lain. Semakin tinggi kadar pemahaman kita pada karakter orang lain, akan semakin banyak teman yg mengelilingi kita. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan kita di bidang ini, akan semakin sedikit “kawan” dan semakin banyak “lawan” dan akhirnya hidup dalam pengasingan.
Falsafah Jawa Tepo Seliro bisa kita sandingkan dengan falsafah Barat Take and Give, walaupun yg pertama terkesan non-fisikal dan yg kedua lebih cenderung berkonotasi material. Poin penting di sini adalah kenapa mesti ada falsafah Tepo Seliro dan Take and Give?
Karena secara insting, kita selalu menuntut untuk Take More, & Give Less pada orang lain. Dalam dunia non-fisikal (baca, perasaan) kita ingin agar orang lain sensitif pada kita, walaupun kita tidak sensitif pada orang lain. Dg kata lain, sebelum mereformasi diri, manusia cenderung bersikap “sensitif internal dan insensitif eksternal.” Dan karena itu, para pujangga di Timur dan Barat memperkenalkan falsafah tepo seliro dan take and give untuk mengingatkan kita bahwa “take more and give less” atau “sensitif internal dan insensitif eksternal” adalah sikap yg kurang baik dan untuk itu perlu ditinjau kembali alias direformasi.

Penutup
Penelitian ini ingin menyimpulkan bahwa fenomerna angkringan ini ternyata berhasil bertahan ditengah geliat urban. Terbukanya akses ekonomi sektor informal menjadi satu alasan ekspansi fenomena ndeso ini dikota. Nilai-nilai tradisionalnya menjadikan angkringan yang dikenal menjadi media jaringan interaksi alternatif bagi kaum urban sendiri.
Istilah ceret telu, lauk seadanya, wedang jahe adalah presentasi dari identitas tradisional jawa yang bertahan dikota. Keberadaannya, menjadikan kota semakin berpelangi.

Sumber Bacaan

1.Gumilar R. Soemantri, dkk.2007.Sosiologi Perkotaan. Jakarta: Universitas Terbuka
2.George Ritzer-Douglas J. Dougman.2003.Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Kencana. Jakarta
3.Rahmat Hidayat, “Dualisme sector informal perkotaan”, hand out perkuliahan, Jakarta: Jurusan Sosiologi FIS UNJ, 2008, hal 1


Sumber Lain

anak-negeri.blogspot.com
alkhafid.blogs.friendster.com
alkhoirot.com
http://id.wikipedia.org


[1] Tugas ini dibuat untuk melengkapi mata kulaih Sosiologi Perkotaan sebagai Ujian Akhir Semester, dan penulis mengucapkan syukur dan bahagia kepada ALLAH S.W.T, kedua orang tua, Mia Westina, dan Bapak Rakhmat selaku pembimbing dan dosen mata kuliah ini
[2] Mahasiswa Jurusan Sosiologi ’05 semester enam, Fakultas Ilmu Sosial, UNJ. Lahir di Purwokerto 3 Mei 1987, Telp. 08567186002
[3] Ramdhany, Rony Firman. Scripta Societa:sekapur sirih. Jakarta, Jurusan Sosiologi FIS UNJ.2007
[4] Tokoh inti Mazhab Chicago.
[5] Mereka kedapatan berjualan di wilayah lokasi penelitian.
[6] Nasi kucing
[7] Rahmat Hidayat, “Dualisme sector informal perkotaan”, hand out perkuliahan, Jakarta: Jurusan Sosiologi FIS UNJ, 2008, hal 1
[8] Idem
[9] Wawancara dengan mas Sarno, tanggal 7 April 2008.
[10] mas Sarno dan mas Aris
[11] Mahasiswa Y.A.I 2005, wawancara tanggal 4 April 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar