BEDAH
DAN TELAAH ILMIAH
“KORUPSI:REPRODUKSI dan
TRANSFORMASI.
Studi Kasus Praktik Sosial
Korupsi di Ranah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif”
Tesis Karya Johanes Danang Widoyoko
Oleh:
Johan
Nurul Imani S.Sos
Ka.Divisi
Litbang GEPAK
I.
Pendahuluan
Bahwa fenomena korupsi telah menjadi
suatu kajian ilimiah menarik. Entah siapa yang pertama memulai dan sejak kapan pastinya
gejala sosial (baca:Korupsi) dikaji,dibedah,dikuak dan dilihat dalam kacamata
prespekstif ilmiah para akademisi. Kesadaran kalangan atau kelas atau kelompok
akademisi ini, yang memiliki konsentrasi dibidangnya masing-masing, nampaknya
telah membuktikan satu hal bahwa korupsi dipahami dan sudah menjadi sebuah
gejala sosial penting. Cukup penting sehingga para akademisi ini mau mencurahkan
kemampuan dan konsentrasinya untuk ikut serta dalam gerakan anti-korupsi di
negeri ini sesuai takaran kapabilitas mereka. Para akademisi ini melakukan
riset dengan berbagai metode ilmiah penelitian demi sebuah tujuan, membongkar
benang kusut gejala sosial korupsi dan mencarikan “jalan keluar” melalui proses
ilmiah, khususnya mereka yang dari cabang-cabang ilmu sosial.
Persoalan KORUPSI bukan cuma milik
ranah hukum, tapi juga ranah yang sosial. Setidaknya itu yang perlu
digaris-bawahi sekali lagi oleh banyak orang. Penekanan ini disampaikan oleh
Johanes Danang Widoyoko melalui karya tesisnya yang berjudul“KORUPSI:REPRODUKSI dan TRANSFORMASI.
Studi Kasus Praktik Sosial Korupsi di Ranah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif”.
Tesis
dengan tebal 255 halaman ini menggali, membedah, mengkaji , menguak korupsi
sebagai praktik sosial dan mencoba menjawab pertanyaan mengapa praktik korupsi masih
ada meskipun program pemberantasan
korupsi sudah dijalankan dan upaya penegakan hukum sudah dilakukan. Tesis ini
mengkaji praktik korupsi dari perspektif strukturisasi Giddens dan Habitus
Bourdieu dimana korupsi sebagai sebuah praktik
membentuk struktur sosial yang repetitif
sehingga walaupun jelas sudah memiliki ancaman pidana, hukuman yang jelas,
korupsi tetap ada.
Tulisan
ini memiliki batasan. Pembahasan dilakukan hanya pada Bab II tesis ini dan
beberapa sub-bab terkait pemahaman korupsi dari dua ideologi dan satu teori
ilmiah. Namun diharapkan tetap komprehensif dan bisa menjadi sajian menarik
bagi pembaca.
II.
KORUPSI:Reproduksi dan
Transformasi
II.a Seting sosial
Tesis
ini dimulai dengan memaparkan dan mendeskripsikan
fenomena korupsi dalam konteks kewilayahan dan sebuah sebuah nama dari seorang
peneliti yang untuk pertama kalinya menguak fenomena korupsi secara sosiologis.
Benua Asia,khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara ditambah sebuah nama yaitu, Syed
Hussein Alatas. Dua variabel inilah yang mengawali dan memulai cerita dongeng
berliku nan panjang dari apa yang disebut sebagai praktik korupsi.
Syed
Hussein Alatas adalah nama yang disebut oleh Danang dalam tesisnya sebagai tokoh
post-kolonial yang untuk pertama kalinya secara sosiologi berani menyatakan
bahwa korupsi adalah suatu persoalan pelik masalah sosial yang dihadapi oleh semua manusia yang
hidup di era 50-an dan 60-an. Dan Danang menyebut fenomena ini sudah terjadi di
wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Tentunya karena Indonesia masuk kedalam
wilayah Asia Tenggara, maka selanjutnya pemaparan ini akan mambahas Indonesia
saja sebagai fokus utama.
Sayangnya,
tidak ada yang menganggap serius, atau memahami dengan jelas sepeti apa yang
dipahami Alatas tentang korupsi pada saat itu. Mengapa? Pertama, karena persoalan korupsi bukan suatu yang “something mainstream” dan populer kala
itu. Bahkan kajian korupsi dari perspektif kaum fungsionalisme terutama Robert
Merton menyebut bahwa korupsi “memberi” pelayanan dan tidak merugikan. Ditempat
lain, Samuel Huntington adalah orang yang menyebut korupsi sebagai “the grease of wheel” atau pelicin pada
roda agar roda lebih cepat berputar. Huntington menitikberatkan gagasan
dukungannya pada bagaimana korupsi itu memberikan solusi dari sistem birokrasi
yang tidak efisien. Dua gagasan prasangka baik terhadap korupsi pada masa ini
ternyata juga dipengaruhi oleh dominasi pemikiran Eropa dan AS. Kedua, momen krisis ekonomi yang melanda
Asia Timur dan Asia Tenggara adalah awal tersadarnya berbagai pihak bawah
korupsi adalah persoalan. Korsel, Thailand, dan Indonesia yang pada saat itu
dipuja-puja oleh Bank Dunia sebagai salah satu contoh negara yang berhasil dalam gemilang pembangunan justru mengalami
dampak hebat krisis ekonomi.
Danang
menyebut dalam tesisnya bahwa sebenar-benarnya momen kemunculan korupsi dalam
konteks asia adalah pada masa perang berkecamuk. Danang berpegang teguh pada
pernyataan dari penelitian Alatas yang menyebut bahwa korupsi konteks Asia
dimulai pada masa perang dimana kala itu manusia hidup ditengah hukum perang
sebagai aturan yang berlaku. Dalam kondisi ini, segala hal yang dilakukan untuk
tujuan bertahan dan menang perang ditoleransi. Apapun itu, termasuk Korupsi. Sementara
perang membutuhkan biaya. Untuk ongkos melawan Belanda, tentara dan rakyat
Indonesia melakukan penyelundupan ekspor hasil bumi ke negara lain. Hasilnya
digunakan untuk membeli senjata.
Danang
menjelaskan bahwa pemikiran Alatas baru benar—benar menarik perhatian banyak
kalangan dan mulai menempati posisi penting dalam diskursus kajian korupsi
setelah krisis finansial tahun 1997. Pemikirannya bangkit kembali di tahun
2000-an setelah ada upaya menerbitkan
kembali buku-buku karya beliau dan lahirnya kesadaran kolektif bahwa korupsi
adalah isu serius.
II.b Bedah&Strategi
Pemberantasan Korupsi dari Multi-Perspektif Idelologi dan Teori
Peta
pemikiran yang digunakan Danang dalam tesisnya sangat luas. Danang memberi
pandangannya yang luas tentang korupsi dengan melakukan pendekatan secara
ideologis dan teoritis. Secara ideologis, Danang menjelaskan pendekatan
noe-liberal dan neo-institusionalis. Secara teoritis, Danang mengupasnya dari perspektif
Marxis-Struktural.
Pendekatan
pemberantasan neo-liberal tertuang dalam konsepsi good governance. Konsep ini mengatakan bahwa mekanisme pasar yang
ilmiah dengan sedikit campur tangan negara akan menciptakan situasi persaingan
atau kompetisi alamiah. Menurut
pandangan liberal,kompetisi alamiah dalam pasar menolak praktik korupsi yang
hanya akan menciptakan kondisi pasar yang tidak sehat dan in-efisien. Salah
satu ciri pendekatan dari perspektif ini adalah upaya menekan campur tangan
negara dengan cara privatisasi dan liberalisasi. Cara selanjutnya adalah dengan
meningkatkan gaji pegawai pemerintah di sektor publik dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan pegawai dan menekan demand/kesempatan untuk korupsi. Kenaikan gaji diimbangin dengan reformasi birokrasi. Strategi
lain dari pemikiran ini adalah dibentuknya lembaga independen ati-korupsi dan
penguatan konsep dan posisi civil society
melalui peran NGO sebagai watch dog.
Pada pembahasannya mengenai strategi pemberantasan korupsi dari perspektif noe-liberal
di bab II tesisnya ini, Danang juga membahas tentang konsep Principal-agent dan rumus korupsi yang
terkenal dari Robert Klitgaard yaitu C =
M + D – A (Corruption=Monopoly+Discretion-Accountibility).
Berikutnya
adalah pendekatan neo-institusionalis.
Pendekatan ini merupakan penyeimbang, yang memiliki pandangan berbeda dengan
pendekatan neo-liberalis tentang peran negara. Pendekatan neo-institusionalis
justru memandang pentingnya peran dan keterlibatan negara dalam pasar.
Pendekatan neo-institusionalis meyakini bahwa pada realitasnya pasar tidak berjalan
se-harmonis seperti dongeng dari neo-liberal. Ternyata pasar bergerak ditengah
realitas bahwa info pasar tidak tersebar merata, ada pihak-pihak yang memiliki
informasi lebih dari pelaku pasar lain. Realitas ini membuat pasar tidak
bergerak sempurna dan menciptakan
kompetisi yang tidak sehat. Ada perusahaan yang berkembang dan cenderung tumbuh
menjadi konglomerasi, namun disaat bersamaan ada perusahan yang susah payah
hanya untuk bertahan dan cenderung tidak berkembang.
Pendekatan
ini sekaligus memberi kritik pedas gagasan neo-liberalis soal peran negara yang
dibatasi agar pasar memiliki kesempatan menciptakan persaingan/kompetisi
alamiah melalui privatisasi dan liberalisasi serta
bagaimana keyakinan
pendekatan neo-liberal tentang praktik korupsi itu sendiri. Menurut neo-institusionalis,
privatisasi pasar justru memicu praktik korupsi dan menjadi sumber masalah
baru. Kehadiran pemerintah dan lembaga peradilan (sesuai yang dimaksud
perspektif ini) diperlukan perannnya untuk memastikan hukum dan semua proses
berjalan sesuai aturan main. Institusi juga ini dibutuhkan untuk memastikan
sanksi kepada pemain yang melanggar aturan. Oleh neo-institusinalis, negara
dihadirkan kembali untuk turut menekan praktik-praktik korupsi yang membuat situasi negatif dan
in-efisiensi pasar.
Narasi
bab II tesis Danang Widoyoko memiliki alur yang unik. Dalam menjelaskan praktik
korupsi dari perspektif dua ideologi, di akhir upaya ini Danang justru
membenturkannya dengan mengkritik kedua gagasan tersebut dengan perspektif
Marxis-Struktural. Danang sepertinya menyadari bahwa dua perspektif sebelumnya
memiliki sisi lemah. Jika neo-Institusionalis melengkapi kekosongan neo-Liberalis,
maka kehadiran Marxis-Struktural adalah
“pelipur lara” keduanya. Jika dua kakak-adik “neo” tadi positioning-nya adalah mekanisme pasar, penuh dengan bahasa
ekonomi, pandangan marxis disini melengkapinya dengan mengisis sisi sosial
politik.
Korupsi
dalam padangan marxis-struktural dilihat sebagai bentuk eksploitasi dan
dominasi terhadap kelas bawah. Sistem oligarki kelas yang korup adalah gambaran
jelas maksud dari eksploitasi dan dominasi kelas bawah ini. Praktik korupsi
dari oligarki adalah upaya kelas dominator untuk mempertahankan dominasinya dalam
sistem yang berlaku ditengah sistem politik dan ekonomi yang berlaku. Danang
menyebut upaya kekerasan&pelanggaran HAM jaman orba sebagai salah satu
contoh kasus bagaimana oligarki yang korup kepemimpinan Soeharto sedang
mempertahankan dominasinya. Kini, menurut Danang, oligarki justru belajar dari
kenangan masa lalu kemudian “berjalan”
beriringan dengan sistem demokratis dan HAM. Disini. Danang sepertinya ingin
menyampaikan bahwa politik oligarki adalah sebuah tatanan yang merusak dan
korup. Selanjutnya, analisa Danang mengenai strategi yang tepta untuk melawan
korupsi dari perspektif ini adalah mobilisasi dukungan melalui gerakan sosial
anti-korupsi.
Berikut
matriks perbandingan tiap perspektif:
Neo-Liberal
|
Neo-Institusional
|
Marxis-Struktural
|
|
Asumsi
|
*Mekanisme pasar
*Kompetisi alamiah
*Persaingan pasar
*Kurangi campur tangan negara
*Privatisasi&Liberalisasi
|
*Perlunya peran/campur Negara
*Privatisasi menciptakan konglomerasi
|
*dominasi kelas lewat sistem oligarkis
*oligarki adalah aktualisasi kelas dominan dalam
sistem sosial politik
|
Level Analisa
|
Makro-Mikro
|
Makro
|
Makro
|
Kebijakan
|
* Reformasi Birokrasi
*Menekan korupsi dengan kenaikan gaji pegawai
sector public
*Bentuk lembaga independen anti korupsi
*Penguatan NGO/Civil Society
|
*Penguatan institusi untuk kepastian hokum dan
aturan main pasar untuk menekan praktik korupsi
*Negara menjadi “wasit”
|
*Mobilisasi dukungan gerakan social
|
Kritik
|
*Monopoli sumber-sumber ekonomi
*Survival The Fittest
|
Penguatan memiliki “efek samping, yaitu menciptakan kaum elite
|
Ternyata juga dianggap memiliki kekurangan dalam menjelaskan gejala
korupsi dalam skala
mikro
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar