Jumat, 10 Mei 2013


BEDAH DAN TELAAH ILMIAH
“KORUPSI:REPRODUKSI dan TRANSFORMASI.
Studi Kasus Praktik Sosial Korupsi di Ranah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif”
Tesis Karya Johanes Danang Widoyoko

Oleh:
Johan Nurul Imani S.Sos
Ka.Divisi Litbang GEPAK

I.                   Pendahuluan
            Bahwa fenomena korupsi telah menjadi suatu kajian ilimiah menarik. Entah siapa yang pertama memulai dan sejak kapan pastinya gejala sosial (baca:Korupsi) dikaji,dibedah,dikuak dan dilihat dalam kacamata prespekstif ilmiah para akademisi. Kesadaran kalangan atau kelas atau kelompok akademisi ini, yang memiliki konsentrasi dibidangnya masing-masing, nampaknya telah membuktikan satu hal bahwa korupsi dipahami dan sudah menjadi sebuah gejala sosial penting. Cukup penting sehingga para akademisi ini mau mencurahkan kemampuan dan konsentrasinya untuk ikut serta dalam gerakan anti-korupsi di negeri ini sesuai takaran kapabilitas mereka. Para akademisi ini melakukan riset dengan berbagai metode ilmiah penelitian demi sebuah tujuan, membongkar benang kusut gejala sosial korupsi dan mencarikan “jalan keluar” melalui proses ilmiah, khususnya mereka yang dari cabang-cabang ilmu sosial.
            Persoalan KORUPSI bukan cuma milik ranah hukum, tapi juga ranah yang sosial. Setidaknya itu yang perlu digaris-bawahi sekali lagi oleh banyak orang. Penekanan ini disampaikan oleh Johanes Danang Widoyoko melalui karya tesisnya yang berjudulKORUPSI:REPRODUKSI dan TRANSFORMASI. Studi Kasus Praktik Sosial Korupsi di Ranah Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.
Tesis dengan tebal 255 halaman ini menggali, membedah, mengkaji , menguak korupsi sebagai praktik sosial dan mencoba menjawab pertanyaan mengapa praktik korupsi masih ada       meskipun program pemberantasan korupsi sudah dijalankan dan upaya penegakan hukum sudah dilakukan. Tesis ini mengkaji praktik korupsi dari perspektif strukturisasi Giddens dan Habitus Bourdieu dimana korupsi sebagai sebuah  praktik  membentuk struktur sosial yang repetitif sehingga walaupun jelas sudah memiliki ancaman pidana, hukuman yang jelas, korupsi tetap ada.
Tulisan ini memiliki batasan. Pembahasan dilakukan hanya pada Bab II tesis ini dan beberapa sub-bab terkait pemahaman korupsi dari dua ideologi dan satu teori ilmiah. Namun diharapkan tetap komprehensif dan bisa menjadi sajian menarik bagi pembaca.




II.                KORUPSI:Reproduksi dan Transformasi
II.a Seting sosial
Tesis ini dimulai dengan memaparkan dan  mendeskripsikan fenomena korupsi dalam konteks kewilayahan dan sebuah sebuah nama dari seorang peneliti yang untuk pertama kalinya menguak fenomena korupsi secara sosiologis. Benua Asia,khususnya Asia Timur dan Asia Tenggara ditambah sebuah nama yaitu, Syed Hussein Alatas. Dua variabel inilah yang mengawali dan memulai cerita dongeng berliku nan panjang dari apa yang disebut sebagai praktik korupsi.
Syed Hussein Alatas adalah nama yang disebut oleh Danang dalam tesisnya sebagai tokoh post-kolonial yang untuk pertama kalinya secara sosiologi berani menyatakan bahwa korupsi adalah suatu persoalan pelik masalah  sosial yang dihadapi oleh semua manusia yang hidup di era 50-an dan 60-an. Dan Danang menyebut fenomena ini sudah terjadi di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Tentunya karena Indonesia masuk kedalam wilayah Asia Tenggara, maka selanjutnya pemaparan ini akan mambahas Indonesia saja sebagai fokus utama.
Sayangnya, tidak ada yang menganggap serius, atau memahami dengan jelas sepeti apa yang dipahami Alatas tentang korupsi pada saat itu. Mengapa? Pertama, karena persoalan korupsi bukan suatu yang “something mainstream” dan populer kala itu. Bahkan kajian korupsi dari perspektif kaum fungsionalisme terutama Robert Merton menyebut bahwa korupsi “memberi” pelayanan dan tidak merugikan. Ditempat lain, Samuel Huntington adalah orang yang menyebut korupsi sebagai “the grease of wheel” atau pelicin pada roda agar roda lebih cepat berputar. Huntington menitikberatkan gagasan dukungannya pada bagaimana korupsi itu memberikan solusi dari sistem birokrasi yang tidak efisien. Dua gagasan prasangka baik terhadap korupsi pada masa ini ternyata juga dipengaruhi oleh dominasi pemikiran Eropa dan AS. Kedua, momen krisis ekonomi yang melanda Asia Timur dan Asia Tenggara adalah awal tersadarnya berbagai pihak bawah korupsi adalah persoalan. Korsel, Thailand, dan Indonesia yang pada saat itu dipuja-puja oleh Bank Dunia sebagai salah satu contoh negara yang berhasil  dalam gemilang pembangunan justru mengalami dampak hebat krisis ekonomi.
Danang menyebut dalam tesisnya bahwa sebenar-benarnya momen kemunculan korupsi dalam konteks asia adalah pada masa perang berkecamuk. Danang berpegang teguh pada pernyataan dari penelitian Alatas yang menyebut bahwa korupsi konteks Asia dimulai pada masa perang dimana kala itu manusia hidup ditengah hukum perang sebagai aturan yang berlaku. Dalam kondisi ini, segala hal yang dilakukan untuk tujuan bertahan dan menang perang ditoleransi. Apapun itu, termasuk Korupsi. Sementara perang membutuhkan biaya. Untuk ongkos melawan Belanda, tentara dan rakyat Indonesia melakukan penyelundupan ekspor hasil bumi ke negara lain. Hasilnya digunakan untuk membeli senjata.
Danang menjelaskan bahwa pemikiran Alatas baru benar—benar menarik perhatian banyak kalangan dan mulai menempati posisi penting dalam diskursus kajian korupsi setelah krisis finansial tahun 1997. Pemikirannya bangkit kembali di tahun 2000-an  setelah ada upaya menerbitkan kembali buku-buku karya beliau dan lahirnya kesadaran kolektif bahwa korupsi adalah isu serius.

II.b Bedah&Strategi Pemberantasan Korupsi dari Multi-Perspektif Idelologi dan Teori
Peta pemikiran yang digunakan Danang dalam tesisnya sangat luas. Danang memberi pandangannya yang luas tentang korupsi dengan melakukan pendekatan secara ideologis dan teoritis. Secara ideologis, Danang menjelaskan pendekatan noe-liberal dan neo-institusionalis. Secara teoritis, Danang mengupasnya dari perspektif Marxis-Struktural.
Pendekatan pemberantasan neo-liberal tertuang dalam konsepsi good governance. Konsep ini mengatakan bahwa mekanisme pasar yang ilmiah dengan sedikit campur tangan negara akan menciptakan situasi persaingan atau kompetisi alamiah.  Menurut pandangan liberal,kompetisi alamiah dalam pasar menolak praktik korupsi yang hanya akan menciptakan kondisi pasar yang tidak sehat dan in-efisien. Salah satu ciri pendekatan dari perspektif ini adalah upaya menekan campur tangan negara dengan cara privatisasi dan liberalisasi. Cara selanjutnya adalah dengan meningkatkan gaji pegawai pemerintah di sektor publik dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pegawai dan menekan demand/kesempatan untuk korupsi. Kenaikan  gaji diimbangin dengan reformasi birokrasi. Strategi lain dari pemikiran ini adalah dibentuknya lembaga independen ati-korupsi dan penguatan konsep dan posisi civil society melalui peran NGO sebagai watch dog. Pada pembahasannya mengenai strategi pemberantasan korupsi dari perspektif noe-liberal di bab II tesisnya ini, Danang juga membahas tentang konsep Principal-agent dan rumus korupsi yang terkenal dari Robert Klitgaard yaitu  C = M + D – A (Corruption=Monopoly+Discretion-Accountibility).
Berikutnya adalah pendekatan  neo-institusionalis. Pendekatan ini merupakan penyeimbang, yang memiliki pandangan berbeda dengan pendekatan neo-liberalis tentang peran negara. Pendekatan neo-institusionalis justru memandang pentingnya peran dan keterlibatan negara dalam pasar. Pendekatan neo-institusionalis meyakini bahwa pada realitasnya pasar tidak berjalan se-harmonis seperti dongeng dari neo-liberal. Ternyata pasar bergerak ditengah realitas bahwa info pasar tidak tersebar merata, ada pihak-pihak yang memiliki informasi lebih dari pelaku pasar lain. Realitas ini membuat pasar tidak bergerak sempurna dan  menciptakan kompetisi yang tidak sehat. Ada perusahaan yang berkembang dan cenderung tumbuh menjadi konglomerasi, namun disaat bersamaan ada perusahan yang susah payah hanya untuk bertahan dan cenderung tidak berkembang.
Pendekatan ini sekaligus memberi kritik pedas gagasan neo-liberalis soal peran negara yang dibatasi agar pasar memiliki kesempatan menciptakan persaingan/kompetisi alamiah melalui privatisasi dan liberalisasi serta bagaimana keyakinan pendekatan neo-liberal tentang praktik korupsi itu sendiri. Menurut neo-institusionalis, privatisasi pasar justru memicu praktik korupsi dan menjadi sumber masalah baru. Kehadiran pemerintah dan lembaga peradilan (sesuai yang dimaksud perspektif ini) diperlukan perannnya untuk memastikan hukum dan semua proses berjalan sesuai aturan main. Institusi juga ini dibutuhkan untuk memastikan sanksi kepada pemain yang melanggar aturan. Oleh neo-institusinalis, negara dihadirkan kembali untuk turut menekan praktik-praktik  korupsi yang membuat situasi negatif dan in-efisiensi pasar.
Narasi bab II tesis Danang Widoyoko memiliki alur yang unik. Dalam menjelaskan praktik korupsi dari perspektif dua ideologi, di akhir upaya ini Danang justru membenturkannya dengan mengkritik kedua gagasan tersebut dengan perspektif Marxis-Struktural. Danang sepertinya menyadari bahwa dua perspektif sebelumnya memiliki sisi lemah. Jika neo-Institusionalis melengkapi kekosongan neo-Liberalis, maka kehadiran  Marxis-Struktural adalah “pelipur lara” keduanya. Jika dua kakak-adik “neo” tadi positioning-nya adalah mekanisme pasar, penuh dengan bahasa ekonomi, pandangan marxis disini melengkapinya dengan mengisis sisi sosial politik.
Korupsi dalam padangan marxis-struktural dilihat sebagai bentuk eksploitasi dan dominasi terhadap kelas bawah. Sistem oligarki kelas yang korup adalah gambaran jelas maksud dari eksploitasi dan dominasi kelas bawah ini. Praktik korupsi dari oligarki adalah upaya kelas dominator untuk mempertahankan dominasinya dalam sistem yang berlaku ditengah sistem politik dan ekonomi yang berlaku. Danang menyebut upaya kekerasan&pelanggaran HAM jaman orba sebagai salah satu contoh kasus bagaimana oligarki yang korup kepemimpinan Soeharto sedang mempertahankan dominasinya. Kini, menurut Danang, oligarki justru belajar dari kenangan masa lalu kemudian  “berjalan” beriringan dengan sistem demokratis dan HAM. Disini. Danang sepertinya ingin menyampaikan bahwa politik oligarki adalah sebuah tatanan yang merusak dan korup. Selanjutnya, analisa Danang mengenai strategi yang tepta untuk melawan korupsi dari perspektif ini adalah mobilisasi dukungan melalui gerakan sosial anti-korupsi.
Berikut matriks perbandingan tiap perspektif:

Neo-Liberal
Neo-Institusional
Marxis-Struktural
Asumsi
*Mekanisme pasar
*Kompetisi alamiah
*Persaingan pasar
*Kurangi campur tangan negara
*Privatisasi&Liberalisasi
*Perlunya peran/campur Negara
*Privatisasi menciptakan konglomerasi

*dominasi kelas lewat sistem oligarkis
*oligarki adalah aktualisasi kelas dominan dalam sistem sosial politik
Level Analisa
Makro-Mikro
Makro
Makro
Kebijakan
* Reformasi Birokrasi
*Menekan korupsi dengan kenaikan gaji pegawai sector public
*Bentuk lembaga independen anti korupsi
*Penguatan NGO/Civil Society
*Penguatan institusi untuk kepastian hokum dan aturan main pasar untuk menekan praktik korupsi
*Negara menjadi “wasit”
*Mobilisasi dukungan gerakan social
Kritik
*Monopoli sumber-sumber ekonomi
*Survival The Fittest
Penguatan memiliki “efek samping, yaitu menciptakan kaum elite
Ternyata juga dianggap memiliki kekurangan dalam menjelaskan gejala korupsi dalam skala mikro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar