Hangatnya
Wedang susu Jahe Angkringan:
Semangat
Nilai Tradisionalisme ditengah-tengah Pusaran Geliat Urban[1]
Studi
kasus: ANGKRINGAN
Johan Nurul Imani[2]
4825056979
Sosiologi Pembangunan ’05 NR
Yuk jegang mas, Nyruput
Wedang…
ABSTRAK
Banyak hal jika kita bayangkan dalam
bicara kota .
Agar tidak terlalu serius, bicarakanlah sambil duduk-duduk diteras ditemani
kolega dengan secangkir teh manis hangat. Kota ,
bukan saja mengenai sesuatu benda-benda atau hal-hal yang modern an sich. Apa
saja yang menopang kota
dengan urbanisasinya agar tetap segar berjalan? Kota banyak diisi oleh berbagai fenomena.
Angkringan adalah satu dari sekian banyak fenomena urban. Keberadaannya tak
ubahnya PKL disiang hari. Hanya saja, bedanya mereka beraksi dari senja hingga
larut malam. Tapi, bukan asal waktu berjualan saja yang membuatnya berbeda dari
PKL-PKL kota
lainnya. Budaya, Jajanan, Suasana, Nilai-nilai tradisionalnya membuat
Angkringan sungguh menjadikan malam dikota berbeda drastis dari kejenuhan pada
sehari-harinya. Dan dalam pergulatannya ditengah deras arus urban, angkringan
mampu bertahan bahkan exist.
LATAR BELAKANG
Angkringan,
sega kucing untuk masyarakat Jogja, atau nasi kucing istilah lainnya adalah
sebuah fenomena urban yang ternyata telah menjadi warna yang menambah corak
hidup perkotaan. Untuk membahas fenomena gejala sosial urban yang satu ini,
bisa kita lihat dari multi-perspektif. Sehingga fenomena ini menarik untuk
dikaji.
Perubahan
sosial adalah keniscayaan[3].
Angkringan dan penggila jajanannya adalah elemen kecil dari perubahan sosial
itu sendiri. Angkringan dapat dilihat sebagai pertumbuhan ekonomi lokal, bagian
dari social change.
Untuk
menyelami lebih dalam atas kajian ini. Kita bisa mencoba untuk memahami gejala
urban-Angkringan-ini dengan membahas aspek sosial-ekonominya dengan perspektif
yang sosiologis seperti bagaimana R. Park[4] menyebut ekologi manusia. Gagasan yang
intinya menjelaskan bagaimana konsep tata-ruang atau lingkungan yang melibatkan
proses penyesuaian diri organisme dengan suatu pola akhir yaitu keseimbangan (equilibrium).
Dimana kaitan Angkringan dengan gagasan R.Park? Angkringan dengan karakteristik
jenis pekerjaan yang mudah dimasuki, bersumber pada sumber daya lokal, usaha
milik sendiri dan beroperasi dalam skala kecil adalah satu ekonomi sektor
informal yang mendampingi ekonomi sektor formal di perkotaan. Keberadaan
keduanya ternyata mampu memberi penghidupan bagi mereka yang kita sebut sebagai
kaum yang berjuang untuk terus berusaha meneruskan hidupnya di kota , yaitu kaum urban. Disinilah titik
keseimbangan itu muncul.
Perspektif
lain yang bisa digunakan untuk memahami kajian ini adalah gagasan kota sebagai arena
konsumsi oleh Manuel Castell dari Spanyol. Gagasannya, adalah kenyataan bahwa
penduduk kota
adalah kumpulan konsumen. Dikota, mereka membutuhkan pangan, sandang, dan papan
yang digunakan untuk mengembalikan kemampuan kerja mereka, setelahnya mereka
kembali berkerja kemudian mengkonsumsi lagi. Dan mengacu pada castell, fenomena
Angkringan ini pada dasarnya dapat kita pahami sebagai konstruksi lain
sebagai arena “alternatif” interaksi-konsumsi kaum urban yang terjebak dalam
rutinitas-rutinitas melelahkan perkotaan.
PROFIL HISTORIS
Angkringan
(berasal dari bahasa Jawa ' Angkring ' yang artinya duduk santai) adalah
sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang
biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Solo dikenal sebagai warung hik.
Penampilannya cukup sederhana, gerobag angkringan umumnya ditutupi dengan kain
terpal plastik dan bisa memuat sekitar 6 hingga 8 orang pembeli. Mereka
beroperasi mulai sore hari.
Makanan yang dijual meliputi nasi kucing, sate usus , sate telor puyuh,
gorengan tempe-tahu dan lain-lain. Minuman yang ditawarkanpun beraneka macam
seperti teh, jeruk, kopi,
tape, wedang jahe dan susu.
Kesemuanya dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Range harganya
berkisar mulai dari Rp.500 hingga Rp.3000
Meski harganya murah, namun konsumen warung ini sangat
bervariasi. Mulai dari tukang becak, tukang bangunan, mahasiswa, seniman,
bahkan hingga pegawai kantoran. Suasana penuh kekeluargaan antar pembeli dan
penjual yang terlihat mengobrol dengan santai menjadi pemandangan umum.
Angkringan
juga terkenal sebagai tempat yang egaliter. bervariasinya pembeli yang datang
tanpa membeda-bedakan latar belakang, strata sosial atau SARA menjelaskan hal
tersebut. Mereka yang berbeda warna tersebut tampak khusyuk menikmati
makanan sambil bebas ngobrol hingga larut malam - meskipun tak saling kenal -
tentang berbagai hal atau kadang berdiskusi tentang topik-topik yang serius.
Harganya yang murah dan tempatnya yang santai membuat angkringan sangat populer
di tengah kota sebagai tempat persinggahan untuk mengusir lapar atau sekedar
melepas lelah.
PEMBAHASAN OBJEK KAJIAN
Letaknya mudah
dikenali, percis dipinggir jl. Pondok Kelapa Raya. Hampir setiap malam, gerobag
angkringan yang dibawa oleh mas Sarno dan mas Aris[5]
ini melayani para pelanggan setianya. Seperti yang dikatakan oleh mas Aris.
“Iya
mas, kita biasa mulai dari magrib,pulangnya malem,rata-rata jam 12 kita udah
beres-beres”
Jam
terbang pedagang Angkringan mulai sore atau magrib hingga larut malam memang
lazim diketahui. Waktu operasional mereka juga bisa kita katakan men-general
kepada semua pedagang angkringan. Alasan kenapa mereka memilih waktu yang
cenderung malam untuk beroperasional/berdagang tidak spesifik. Tapi hal
tersebut bisa kita anggap sebagai satu dari ciri khas pedagang Angkringan.
Mungkin memang karena para pendahulunya sedari awal sudah berjualan dari sore
hingga larut malamlah yang menjadi motif mereka. Sehingga waktu operasional itu
tetap dijaga dan tidak berubah sampai saat ini. Maka strategi mereka berjualan
bukan semata kita pandang sebagai satu bentuk mekanisme kerja mereka, bukan
sebagaimana bentuk-bentuk usaha ekonomi modern yang mekanistis saat ini,
melainkan strategi yang penulis sebut sebagai strategi yang berbasis pada nilai
luhur dan budaya. Saat ditanya untuk memastikan hal tersebut, mas Sarno hanya
menjawab singkat dengan logat jawa.
“Nggeh
mas, sudah dari dulu itu”
Mungkin
kita bisa sesaat membayangkan sega kucing[6],
nasinya sedikit lauknya sederhana, hanya potongan ikan dengan sambal. Dibungkus
dengan daun atau kertas koran mengkrucut keatas. Harga satuannya hanya Rp 1500.
Kalau dimakan, habis dalam 4-5 sendok makan. Porsinya memang sedikit. Lantas
apa yang membuat Angkringan ini menjamur dan begitu populer bagi orang-orang?.
Tepat
kita sebut mereka-pedagang Angkringan-sebagai bentuk lain dari usaha-usaha
informal. Satu sektor usaha yang
bertolak belakang dengan sisi sektor usaha yang lain(Formal). Sektor formal
bisa kita pahami dalam pengertian pekerja bergaji dengan pekerjaan yang permanen,
Industri, kantor-kantor pemerintah, bahkan perusahaan dengan karakteristik[7]
sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang saling
terkait, punya struktur, dan terorganisir
2. Resmi terdaftar dalam
statistic perekonomian
3. Punya badan Hukum
Maka, sektor-sektor
diluar kriteria tersebut layak kita sebut sektor-sektor informal. Sektor
informal adalah sektor yang jenis kesempatan kerja yang kurang terorganisir,
sulit didata karena itu mereka sering dilupakan sensus resmi, apalagi sektor
ini juga jarang dijangkau oleh hukum[8].
Namun tidak tepat sepenuhnya jika Angkringan itu adalah satu bentuk usaha
sektor informal yang tidak terorganisir. Mereka juga punya prinsip-prinsip
fundamental dalam berjualan. Selain waktu operasional , Pedagang Angkringan
dijalan Pondok Kelapa Raya ini ternyata tidak sendirian. Mereka
berkerja/berdagang secara berkelompok. Tersebar disekitar wilayah Jakarta timur hingga
Pelosok jalan raya di wilayah Jakarta Pusat. Setidaknya masih ada 14 gerobag
lain yang memiliki lokasi mangkalnya masing-masing.
“Kita ada 15 mas, di
Cempaka putih, Kampus Darma Persada,terus tikungan pertigaan Raden Inten itu
juga masih sama mas, juga Pondok bambu”[9].
Setiap
gerobag dioperasikan oleh dua orang dengan jadwal dagang tiap hari dalam satu
minggu. seperti halnya pegawai negeri berkerja yang memiliki waktu libur di
hari sabtu, para pedagang Angkringan juga memiliki jatah yang sama. Mereka
diperbolehkan libur berjualan pada hari minggu, entah minggu pertama atau kedua
yang jelas polanya dalam satu bulan mereka mendapat jatah dua kali libur di
hari minggu.
“ Saya libur minggu
mas, tapi ndak tiap minggu mas! minggu ini jualan, besoknya ya libur, nah
minggunya lagi kita jualan”
Bagaimana mobilitas mereka sehari-hari juga
tampak teratur dan terencana. Titik setiap lokasi mereka beroperasi ditunjang
dengan lokasi rumah kontrakan masing-masing. Rumah kontrakan ini berfungsi
sebagai tempat mereka tinggal sementara, istirahat, dan bersiap untuk
beroperasi kembali di malam harinya. Adanya lauk-pauk bukan lagi menjadi tugas
yang berjualan saat itu. Ada
pembagian kerja disini. Lauk-pauk yang diperjual belikan ternyata memiliki
penyuplai sendiri. Masih dari bagian kelompok ini terntunya.
“ Lauk yang bikin bukan kita mas, saya ya
jualan tok, yang buat ada sendiri. di drop sorenya”
Saat ditanya soal siapa yang menjadi bos
diantara mereka[10],
ternyata bukan keduanya. Masing masing wilayah punya juragannya masing-masing.
Juragan ini berfungsi semacam supervisor atau koordinator tiap wilayah.
“Ada
mas Roso”
Dialah juragan mereka.
Mas Roso sendiri masih satu kampung dengan istri dari mas Aris yang masih
terhitung family di Solo. Hanya saja, saat wawancara mas Roso tidak
berhasil diinvestigasi karena kebetulan saat itu mas Roso sedang beroperasi di
depan kampus Darma Persada.
Angkringan bukan lagi sebagai tempat makan melainkan tempat nongkrong, tempat berbagi, sumber inspirasi, bahkan bisa juga sebagai tempat refreshing. Angkringan adalah ruang bersama, ruang alternatif interaksi
Dalam konteks Angkringan,
tidak ada larangan formal!. Kita hanya perlu menjaga budaya angkringan, yaitu tepo sliro (toleransi),
kemauan untuk berbagi dan biso
rumongso (menjaga perasaan
orang lain). Tidak ada larangan untuk merokok, atau pemisahan bagi perokok
pasif dan aktif oleh smoking area. Aturan dilarang merokok yang
diterapkan di restoran-restoran modern tidak berlaku di Angkringan. Tidak ada
wilayah pemisah bagi yang berperilaku merokok. Tidak ada pemandangan petugas
security mal menegur pengunjungnya yang melanggar aturan merokok disini. Bahkan
malah petugas security itu yang malam nanti mampir jegang di Angkringan
dengan leluasa terlihat menikmati kepuasan merokok tanpa dihardik pelanggan
yang lain. Nilai-nilai luhur kedaerahan itu sungguh merata dirasakan oleh
pelanggan yang konon majemuk latar belakangnya.
“ Gw biasa ikut-ikutan ngomong jawa kalo
lagi beli”
Tukas Nana[11]
yang punya darah sunda asli ini. Nilai-nilai primordialisme bagi sesama orang
dari suku jawa ternyata turut mewarnai Keunikan Angkringan itu sendiri sebagai
sebuah fenomena urban. Orang cenderung mudah mengidentifikasi Angkringan
sebagai budaya kuliner jawa. Bukan berarti yang bukan orang jawa sulit
beradaptasi disini. Tetapi sebaliknya. Sikap penjaja Angkringan yang melayani,
ramah, dan bersahabat membuat banyak orang menjawab lebih suka berlama-lama dan
betah dengan suasanannya. Lesehan, ditemani angin malam bersama teman-teman
dengan hidangan rumahan menjadi semacam racun adiktif bagi
penggila jajanan murah ini. Disini mereka melebur, yang mahasiswa,
pengangguran, pegawai negeri, pengamen, anak band hingga anggota-anggota
komunitas spesifik, yang penyendiri sampai pasangan yang sedang berkencan hadir
untuk menimati hidangan yang ndak seberapa harganya. Sering kali terjadi
interaksi spontan diantara mereka. Residunya hanya satu, yaitu Angkringan.
Falsafah Jawa "Tepo Seliro" adalah
sebuah falsafah sarat makna dan merupakan nilai adiluhung budaya Jawa. Falsafah
ini mengajarkan agar manusia bisa bersikap sensitif satu sama lain, bertenggang
rasa dan saling memahami satu sama lain. Itu adalah cermin dari dunia
angkringan perkotaan. Menurut kamus besar bahasa perkiraan saya tepo seliro
berasal dari kata tepo atau rasa dan seliro yang kira kira sesama jadi
lengkapnya rasa sesama senasib sepenanggungan.
Dalam
bahasa Jawa istilah tepo seliro arti kontekstualnya, ”kalau tidak suka
dicubit, jangan mencubit orang karena orang lain juga tidak suka”. Kecuali
kalau si pencubit adalah orang khusus bagi kita yg sudah mendapat ”SK” resmi
untuk mencubit. Kalau
cubitan fisik mudah dicerna dan dipahami, tidak demikian dg “cubitan”
non-fisik. Definisinya mungkin mudah dipaham yaitu “setiap sikap dan/atau
kata-kata yg menyinggung perasaan orang lain.” Masalahnya, apa sikap dan kata-kata kita yg dapat
menyinggung atau melukai hati orang lain? Setiap orang memiliki kadar
sensitivitas tipikal yg berbeda-beda. Kata-kata yg sama bisa menyinggung si A,
tapi malah menghibur bagi si B, dst. Ini artinya, diperlukan pemahaman tinggi
dalam menghadapi setiap individu. Apa sikap dan/atau kata-kata yg dapat
menghibur atau melukai si A, si B, si C, dst.
Kadar kemampuan kita dalam memahami setiap
individu tsb akan mempengaruhi pada kadar karisma dan ‘aura’ kita di mata orang
lain. Semakin tinggi kadar pemahaman kita pada karakter orang lain, akan
semakin banyak teman yg mengelilingi kita. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan
kita di bidang ini, akan semakin sedikit “kawan” dan semakin banyak “lawan” dan
akhirnya hidup dalam pengasingan.
Falsafah Jawa Tepo Seliro bisa kita sandingkan dengan
falsafah Barat Take and Give, walaupun yg pertama terkesan non-fisikal
dan yg kedua lebih cenderung berkonotasi material. Poin penting di sini adalah
kenapa mesti ada falsafah Tepo Seliro dan Take and Give?
Karena
secara insting, kita selalu menuntut untuk Take More, & Give Less pada
orang lain. Dalam dunia non-fisikal (baca, perasaan) kita ingin agar orang lain
sensitif pada kita, walaupun kita tidak sensitif pada orang lain. Dg kata lain, sebelum mereformasi diri,
manusia cenderung bersikap “sensitif internal dan insensitif eksternal.” Dan
karena itu, para pujangga di Timur dan Barat memperkenalkan falsafah tepo
seliro dan take and give untuk mengingatkan kita bahwa “take more and give
less” atau “sensitif internal dan insensitif eksternal” adalah sikap yg kurang
baik dan untuk itu perlu ditinjau kembali alias direformasi.
Penutup
Penelitian ini ingin menyimpulkan bahwa fenomerna
angkringan ini ternyata berhasil bertahan ditengah geliat urban. Terbukanya
akses ekonomi sektor informal menjadi satu alasan ekspansi fenomena ndeso ini
dikota. Nilai-nilai tradisionalnya menjadikan angkringan yang dikenal menjadi
media jaringan interaksi alternatif bagi kaum urban sendiri.
Istilah ceret telu, lauk seadanya, wedang
jahe adalah presentasi dari identitas tradisional jawa yang bertahan dikota.
Keberadaannya, menjadikan kota semakin berpelangi.
Sumber Bacaan
1.Gumilar
R. Soemantri, dkk.2007.Sosiologi Perkotaan. Jakarta: Universitas Terbuka
2.George
Ritzer-Douglas J. Dougman.2003.Teori Sosiologi Modern, Edisi Keenam. Kencana.
Jakarta
3.Rahmat
Hidayat, “Dualisme sector informal perkotaan”, hand out perkuliahan, Jakarta : Jurusan
Sosiologi FIS UNJ, 2008, hal 1
Sumber Lain
anak-negeri.blogspot.com
alkhafid.blogs.friendster.com
alkhoirot.com
http://id.wikipedia.org
[1] Tugas ini dibuat untuk melengkapi mata kulaih Sosiologi Perkotaan
sebagai Ujian Akhir Semester, dan penulis mengucapkan syukur dan bahagia kepada
ALLAH S.W.T, kedua orang tua, Mia Westina, dan Bapak Rakhmat selaku pembimbing
dan dosen mata kuliah ini
[2] Mahasiswa Jurusan Sosiologi ’05 semester enam, Fakultas Ilmu
Sosial, UNJ. Lahir di Purwokerto 3 Mei 1987, Telp. 08567186002
[3] Ramdhany, Rony Firman. Scripta Societa:sekapur sirih. Jakarta , Jurusan
Sosiologi FIS UNJ.2007
[4] Tokoh inti Mazhab Chicago .
[5] Mereka kedapatan berjualan di wilayah lokasi penelitian.
[6] Nasi kucing
[7] Rahmat Hidayat, “Dualisme sector informal perkotaan”, hand out
perkuliahan, Jakarta :
Jurusan Sosiologi FIS UNJ, 2008, hal 1
[8] Idem
[9] Wawancara dengan mas Sarno, tanggal 7 April 2008 .
[10] mas Sarno dan mas Aris
[11] Mahasiswa Y.A.I 2005, wawancara tanggal 4 April 2008 .